ASUHAN KEPERAWATAN STROKE NON HEMORARGIK

A.    Konsep Dasar Stroke Non Hemoragik

1.      Pengertian
Stroke merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan neurologis yang utama di Indonesia. Serangan otak ini merupakan kegawatdaruratan medis yang harus ditangani secara cepat, tepat, dan cermat. Stroke merupakan sindrom klinis yang timbulnya mendadak, progresi cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih, bisa juga langsung menimbulkan kematian yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik (Mansjoer, 2000).
Menurut WHO (1989) stroke adalah disfungsi neurologi akut yang disebabkan oleh gangguan aliran darah yang timbul secara mendadak dengan tanda dan gejala sesuai dengan daerah fokal pada otak yang terganggu.
Stroke atau dikenal sebagai Gangguan Peredaran Darah Otak (GPDO) atau dikenal sebagai CVA (Cerebro Vaskular Accident) atau CVD (Cerebro Vaskular Disease) atau apoplexy adalah gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh gangguan aliran darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam) dengan gejala atau tanda yang sesuai dengan daerah yang terganggu (Harsono, 1996).
Menurut Listiono (1998) stroke non hemoragik merupakan penyakit serebrovaskular yang dapat disebabkan karena aterosklerosis (trombosis) dan penyakit jantung (emboli) yang dicetuskan oleh adanya faktor predisposisi hipertensi.
2.      Faktor Risiko
Menurut Harsono (1996), semua faktor yang menentukan timbulnya manifestasi stroke dikenal sebagai faktor risiko stroke.  Adapun faktor-faktor risiko pada stroke non hemoragik tersebut antara lain:
a.       Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko stroke yang potensial. Hipertensi dapat mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya pembuluh darah otak. Apabila pembuluh darah otak pecah maka timbulah perdarahan otak dan apabila pembuluh darah otak menyempit maka aliran darah ke otak akan terganggu dan sel – sel otak akan mengalami kematian.
b.      Hiperkolesterolemi
Meningginya angka kolesterol dalam darah, terutama low density lipoprotein (LDL), merupakan faktor risiko penting untuk terjadinya arteriosklerosis (menebalnya dinding pembuluh darah yang kemudian diikuti penurunan elastisitas pembuluh darah). Peningkatan kadar LDL dan penurunan kadar HDL (High Density Lipoprotein) merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit jantung koroner.
3.      Etiologi
Menurut Smeltzer (2001) stroke non hemoragik biasanya diakibatkan oleh :
a.       Trombosis serebral
Arteriosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah penyebab utama trombosis serebral, yang merupakan penyebab paling umum dari stroke.  Tanda-tanda trombosis serebral bervariasi.  Sakit kepala adalah awitan yang tidak umum.  Beberapa pasien dapat mengalami pusing, perubahan kognitif, atau kejang, dan beberapa mengalami awitan yang tidak dapat dibedakan dari hemoragik intraserebral atau embolisme serebral.  Secara umum, trombosis serebral tidak terjadi dengan tiba-tiba, dan kehilangan bicara sementara, hemiplegia, atau parestesia pada setengah tubuh dapat mendahului awitan paralisis berat pada beberapa jam atau hari.
b.      Embolisme serebral
Embolus biasanya menyumbat arteri serebral tengah atau cabang-cabangnya, yang merusak sirkulasi serebral.  Awitan hemiparesis atau hemiplegia tiba-tiba dengan afasia atau tanpa afasia atau kehilangan kesadaran pada pasien dengan penyakit jantung atau pulmonal adalah karakteristik dari embolisme serebral.
c.       Iskemia serebral
Iskemia serebral (insufisiensi suplai darah ke otak) terutama karena konstriksi ateroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak.
4.      Patofisiologi
Jika aliran darah ke setiap bagian otak terhambat karena trombus atau embolus, maka mulai terjadi kekurangan oksigen ke jaringan otak. Kekurangan selama satu menit dapat mengarah pada gelaja-gejala yang dapat pulih, seperti kehilangan kesadaran. Kekurangan oksigen dalam waktu yang lebih lama dan dapat menyebabkan nekrosis mikroskopik neuron-neuron. Area nekrotik kemudian disebut infark (Hudak-Gallo, 1996).
Menurut Long (1996), otak sangat tergantung kepada oksigen dan tidak mempunyai cadangan oksigen.  Bila terjadi anoksia seperti halnya yang terjadi pada CVA, metabolisme di otak segera mengalami perubahan, kematian sel dan kerusakan permanen dapat terjadi dalam 3 sampai 10 menit.  Tiap kondisi yang menyebabkan perubahan perfusi otak akan menimbulkan hipoksia atau anoksia. Hipoksia menyebabkan iskemik otak. Iskemik dalam otak waktu lama menyebabkan sel mati permanen dan berakibat terjadi infark otak yang disertai dengan edema otak. Karena pada daerah yang dialiri darah terjadi penurunan perfusi dan oksigen serta peningkatan karbondioksida dan asam laktat.
Menurut Satyanegara (1998), adanya gangguan peredaran darah otak dapat menimbulkan jejas atau cedera pada otak melalui empat mekanisme yaitu penebalan dinding arteri serebral yang menimbulkan penyempitan atau penyumbatan lumen sehingga aliran darah dan suplainya ke sebagian otak tidak adekuat, serta selanjutnya akan mengakibatkan perubahan-perubahan iskemik otak.  Bila hal ini terjadi sedemikian hebatnya, dapat menimbulkan nekrosis (infark).


5.      Manifestasi Klinik.
Pada stroke non hemoragik (iskemik), gejala utamanya adalah timbulnya defisit neurologis secara mendadak/subakut, didahului gejala prodromal, terjadi pada waktu istirahat atau bangun pagi dan kesadaran biasanya tak menurun, kecuali bila embolus cukup besar. Biasanya terjadi pada usia > 50 tahun (Mansjoer, 2000).
Menurut Smeltzer (2001) manifestasi klinis stroke non hemoragik terdiri atas:
a.       Defisit Lapang Penglihatan
1)      Homonimus hemianopsia (kehilangan setengah lapang   penglihatan)
Tidak menyadari orang atau objek ditempat kehilangan, penglihatan, mengabaikan salah satu sisi tubuh, kesulitan menilai jarak.
2)      Kehilangan penglihatan perifer
                        Kesulitan melihat pada malam hari, tidak menyadari objek atau batas objek.
3)      Diplopia
                        Penglihatan ganda.                        
b.      Defisit Motorik
1)      Hemiparesis
                        Kelemahan wajah, lengan dan kaki pada sisi yang sama.
                        Paralisis wajah (karena lesi pada hemisfer yang berlawanan).
2)      Ataksia
                        Berjalan tidak mantap, tegak.
                        Tidak mampu menyatukan kaki, perlu dasar berdiri yang luas.
3)      Disartria
Kesulitan dalam membentuk kata.
4)      Disfagia
Kesulitan dalam menelan.
c.       Defisit Verbal
1)      Afasia Ekspresif
                        Tidak mampu membentuk kata yang dapat dipahami, mungkin mampu bicara dalam respon 
                         kata tunggal.
2)      Afasia Reseptif
                        Tidak mampu memahami kata yang dibicarakan, mampu bicara tetapi tidak masuk akal.
3)      Afasia Global
                        Kombinasi baik afasia reseptif dan ekspresif.
d.      Defisit Kognitif
Pada penderita stroke akan kehilangan memori jangka pendek dan panjang, penurunan lapang perhatian, kerusakan kemampuan untuk berkonsentrasi, alasan abstrak buruk, perubahan penilaian.
e.       Defisit Emosional
Penderita akan mengalami kehilangan kontrol diri, labilitas emosional, penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan stress, depresi, menarik diri, rasa takut, bermusuhan dan marah, perasaan isolasi.
Menurut Hudak-Gallo (1996) gejala-gejala yang tampak pada TIA tergantung pada pembuluh darah yang terkena. Jika arteri karotis dan serebral yang terkena, pasien dapat mengalami kebutaan pada satu matanya, hemiplegi, hemianestesia, gangguan bicara, dan kekacauan mental. Jika yang terkena arteri vertebrobasiler, maka akan terjadi pening, diplopia, semutan, kelainan penglihatan, pada salah satu atau kedua bidang pandang, dan disartia.
6.      Pemeriksaan Fisik
   Menurut Baughman (2002) pada pasien stroke perlu dilakukan pemeriksaan lain seperti tingkat kesadaran, kekuatan otot, tonus otot, pemeriksaan radiologi dan laboratorium.
Pada pemeriksaan tingkat kesadaran dilakukan pemeriksaan yang dikenal sebagai Glascow Coma Scale untuk mengamati pembukaan kelopak mata, kemampuan bicara, dan tanggap motorik (gerakan).
        Pemeriksaan tingkat kesadaran adalah dengan pemeriksaan yang dikenal sebagai Glascow Coma Scale (GCS) yaitu sebagai berikut :
a.       Membuka mata
1)      Membuka spontan                                                       : 4
2)      Membuka dengan perintah                                         : 3
3)      Membuka mata karena rangsang nyeri                        : 2       
4)      Tidak mampu membuka mata                         : 1
b.      Kemampuan bicara
1)      Orientasi dan pengertian baik                         : 5
2)      Pembicaraan yang kacau                                : 4
3)      Pembicaraan tidak pantas dan kasar               : 3
4)      Dapat bersuara, merintih                                 : 2
5)      Tidak ada suara                                              : 1
c.       Tanggapan motorik
1)      Menanggapi perintah                                      : 6
2)      Reaksi gerakan lokal terhadap rangsang         : 5
3)      Reaksi menghindar terhadap rangsang nyeri    : 4
4)      Tanggapan fleksi abnormal                             : 3
5)      Tanggapan ekstensi abnormal                         : 2
6)      Tidak ada gerakan                                         : 1
Sedangkan untuk pemeriksaan kekuatan otot adalah sebagai berikut:
0    : Tidak ada kontraksi otot
1    : Terjadi kontraksi otot tanpa gerakan nyata
2    : Pasien hanya mampu menggeserkan tangan atau kaki
3    : Mampu angkat tangan, tidak mampu menahan  gravitasi
4    : Tidak mampu menahan tangan pemeriksa
5    : Kekuatan penuh
Menurut Carpenito (2000), evaluasi masing – masing AKS (Aktivitas Kehidupan Sehari-hari) menggunakan skala sebagai berikut:
0    : Mandiri keseluruhan
1    : Memerlukan alat bantu
2    : Memerlukan bantuan minimal
3    : Memerlukan bantuan dan/atau beberapa pengawasan
4    : Memerlukan pengawasan keseluruhan
5    : Memerlukan bantuan total
Menurut Tucker (1998), fungsi saraf cranial adalah sebagai berikut:
a.       Saraf Olfaktorius (N.I) : Penghidu/penciuman.
b.      Saraf Optikus (N.II) : Ketajaman penglihatan, lapang pandang.
c.       Saraf Okulomotorius (N.III) : Reflek pupil, otot ocular, eksternal termasuk gerakan ke atas, ke bawah dan medial, kerusakan akan menyebabkan otosis dilatasi pupil.
d.      Saraf Troklearis (N.IV) : Gerakan ocular menyebabkan ketidak mampuan melihat ke bawah dan ke samping.
e.       Saraf Trigeminus (N.V) : fungsi sensori, reflek kornea, kulit wajah   dan dahi, mukosa hidung dan mulut, fungsi motorik, reflek rahang.
f.       Saraf Abduschen (N.VI) : gerakan ocular, kerusakan akan menyebabkan ketidakmampuan ke bawah dan ke samping.
g.      Saraf Facialis (N.VII) : fungsi motorik wajah bagian atas dan bawah, kerusakan akan menyebabkan asimetris wajah dan poresis.
h.      Saraf Akustikus (N.VIII) : tes saraf koklear, pendengaran, konduksi udara dan tulang, kerusakan akan menyebabkan tinitus atau kurang pendengaran atau ketulian.
i.        Saraf Glosofaringeus (N.IX) : fungsi motorik, reflek gangguan faringeal atau menelan.
j.        Saraf Vagus (N.X) : bicara.
k.      Saraf Asesorius (N.XI) : kekuatan otot trapesus dan sternokleidomastouides, kerusakan akan menyebabkan ketidakmampuan mengangkat bahu.
l.        Saraf Hipoglosus (N.XII) : fungsi motorik lidah, kerusakan akan menyebabkan ketidakmampuan menjulurkan dan menggerakkan lidah.
Riwayat kesehatan sangat membantu dalam menentukan apa yang sedang terjadi pada pasien. Adalah penting untuk mengumpulkan deskipsi peristiwa neurologi, berapa lama terjadi, dan apakah gejala-gejala menurun atau hilang sama sekali, atau sama seperti saat awitan. Tipe gejala-gejala dapat membantu menentukan dan menemukan kemungkinan etiologi vaskuler. Penentuan factor-faktor stroke, sperti riwayat tentang stroke keluarga, hipertensi, atrial fibrilasi kronis, serum kolesterol, penggunaan merokok juga dapat membantu mendiagnosis masalah (Hudak-Gallo, 1996).
7.      Prognosis Stroke
      Menurut Harsono (1996) dipengaruhi oleh beberapa faktor:
a.  Tingkat kesadaran: sadar 16 % meninggal, somnolen 39 % meninggal, yang stupor 71 % meninggal, dan bila koma 100 % meninggal.
b.      Usia: pada usia 70 tahun atau lebih, angka – angka kematian meningkat tajam.
c.       Jenis kelamin: laki – laki lebih banyak (16 %) yang meninggal dari pada perempuan (39 %).
d.      Tekanan darah: tekanan darah tinggi prognosis jelek.
e.       Lain – lain: cepat dan tepatnya pertolongan.
8.      Penatalaksanaan Stroke
Menurut Harsono (1996), kematian dan deteriosasi neurologis minggu pertama stroke iskemia oleh adanya odema otak.  Odem otak  timbul dalam beberapa jam setelah stroke iskemik dan mencapai puncaknya 24-96 jam. Odema otak mula-mula cytofosic, karena terjadi gangguan pada metabolisme seluler kemudian terdapat odema vasogenik karena rusaknya sawar darah otak setempat.  Untuk menurunkan odema otak, dilakukan hal sebagai berikut:
a.       Naikkan posisi kepala dan badan bagian atas setinggi 20 -30.
b.      Hindarkan pemberian cairan intravena yang berisi glukosa atau     cairan hipotonik.
c.       Pemberian osmoterapi yaitu :
1)    Bolus marital 1gr/kg BB dalam 20-30 menit kemudian dilanjutkan dengan dosis 0,25 gr/kg BB setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam. Target osmolaritas 300-320 mmol/liter.
2)      Gliserol 50% oral 0, 25 - 1gr/kg BB setiap 4 atau 6 jam atau geiseral 10%.
                        Intravena 10 ml/kg BB dalam 3-4 jam (untuk odema cerebri ringan, sedang).
3)      Furosemide 1 mg/kg BB intravena.
d.      Intubasi dan hiperventilasi terkontrol dengan oksigen hiperbarik sampai PCO2 = 29-35 mmHg.
e.    Tindakan bedah dikompresif perlu dikerjakan apabila terdapat supra tentoral dengan pergeseran linea mediarea atau cerebral infark disertai efek rasa.
f.   Steroid dianggap kurang menguntungkan untuk terapi udara cerebral oleh karena disamping menyebabkan hiperglikema juga naiknya resiko infeksi.
Menurut Mansjoer (2000) protokol penatalaksanaan stroke iskemik akut sebagai berikut  :
a.       Pertimbangkan rt-PA intravena 0,9 mg/kgBB intravena (dosis maksimum 90 mg). Sepuluh persen diberikan bolus intravena dan sisanya diberikan per drips dalam waktu 1 jam jika onset gejala stroke dapat dipastikan kurang dari 3 jam dan hasil CT Scan otak tidak memperlihatkan infark dini yang luas.
b.      Tekanan darah yang tinggi pada stroke iskemik tidak boleh cepat-cepat diturunkan. Akibatnya, penurunan tekanan darah yang terlalu agresif pada stroke iskemik akut dapat memperluas infark dan perburukan neurologis. Oleh sebab itu, pedoman untuk penatalaksanaan hipertensi pada stroke iskemik akut adalah bila terdapat salah satu hal berikut :
1)      Hipertensi diobati jika terdapat kegawatdaruratan hipertensi neurologis :
a)      Iskemia miokard akut
b)      Edema paru kardiogenik
c)      Hipertensi maligna (retinopati)
d)     Nefropati hipertensif
e)      Diseksi aorta
2)      Hipertensi diobati jika tekanan darah sangat tinggi pada 3 kali pengukuran selang 15 menit :
a)      Sistolik > 220 mmHg
b)      Diastolik > 120 mmHg
c)      Tekanan arteri rata-rata > 140 mmHg.
3)      Pasien adalah kandidat trombolisis intravena dengan rt-PA dimana tekanan darah sistolik > 180 mmHg dan diastolic > 110 mmHg.
c.       Pertimbangkan observasi di unit rawat intensif pada pasien dengan tanda klinis atau radioligis adanya infark hemisferik atau serebelum yang massif, kesadaran menurun, gangguan pernafasan, atau stroke dalam evolusi.
d.      Pertimbangkan stroke yang tidak nyata pada CT Scan.
e.       Pertimbangkan pemeriksaan darah.
9.       Pemeriksaan Penunjang
Menurut Harsono (1996) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita stroke non hemoragik adalah sebagai berikut:
a.       Head CT Scan
Pada stroke non hemoragik terlihat adanya infark sedangkan pada stroke hemoragik terlihat perdarahan.
b.      Elektrokardiografi (EKG)
Untuk mengetahui keadaan jantung dimana jantung berperan dalam suplai darah ke otak.
c.       Pemeriksaan darah
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui keadaan darah, kekentalan darah, jumlah sel darah, penggumpalan trombosit yang abnormal dan mekanisme pembekuan darah.
10.  Komplikasi
Menurut Smeltzer (2001), komplikasi yang terjadi pada pasien stroke yaitu:
a.       Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi.
b.      Penurunan darah serebral.
c.       Embolisme serebral.
Adapun komplikasi stroke menurut Satyanegara (1998):
a.       Komplikasi Dini (0-48 jam pertama)
1)      Edema serebri : defisit neurologis cenderung memberat, dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial, herniasi, dan akhirnya menimbulkan kematian.
2)      Infark miokard : penyebab kematian mendadak pada stroke stadium awal.
b.      Komplikasi Jangka pendek (1-14 hari pertama)
1)      Pneumonia : Akibat immobilisasi lama.
2)      Infark miokard.
3)      Emboli paru : Cenderung terjadi 7-14 hari pasca stroke, seringkali pada saat penderita mulai mobilisasi.
4)      Stroke rekuren : Dapat terjadi pada setiap saat.
c.       Komplikasi Jangka panjang
Stroke rekuren, infark miokard, gangguan vaskular lain: penyakit vaskular perifer.       

B.     Asuhan Keperawatan Klien dengan Stroke
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan praktek keperawatan yang diberikan pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan dengan menggunakan proses keperawatan (Depkes, 2002).
Proses keperawatan adalah suatu pendekatan untuk pemecahan masalah yang memampukan perawat untuk mengatur dan memberikan asuhan keperawatan. Proses keperawatan mencakup 5 tahap yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi (Potter dan Perry, 2005).
1.      Pengkajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan  yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang pasien agar dapat mengidentifikasi, mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan pasien baik fisik, mental, sosial dan lingkungan (Effendy, 1995).
Menurut Doenges, dkk (1999) pengkajian pada klien stroke meliputi:
a.       Aktivitas/istirahat
Merasa kesulitan untuk melakukan aktivitas karena kelemahan, kehilangan sensasi atau paralisis (hemiplegi), gangguan tonus otot, gangguan penglihatan, gangguan kesadaran.
b.      Sirkulasi
Adanya riwayat penyakit jantung, polisitemia serta adanya hipertensi postural, hipertensi arterial, nadi dengan frekuensi yang bervariasi, disritmia, perubahan EKG.
c.       Integritas Ego
Perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa, emosi yang labil dan kesulitan mengekspresikan diri.
d.      Eliminasi
Perubahan pola berkemih, seperti inkontinensia urine anuria. Distensi abdomen (distensi kandung kemih penuh), bising usus negatif (ileus paralitik).
e.       Makanan/cairan
Nafsu makan hilang, mual muntah selama fase akut (peningkatan TIK), kehilangan sensasi (rasa kecap) pada lidah,
pipi, dan tenggorokan serta gangguan menelan. Adanya riwayat diabetes melitus, peningkatan lemak dalam darah.
f.       Neurosensori atau persarafan
Adanya sinkop, nyeri kepala, menurunnya penglihatan, penciuman, perabaan/sentuhan, dan tidak dapat bicara, afasia, apraksia, dilatasi atau miosis pupil ipsilateral dan kejang.
g.      Nyeri / kenyamanan
Sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-beda karena arteri karotis terkena, tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan otot fasia.
h.      Pernapasan
Ketidakmampuan menelan (disfagia) atau hambatan jalan napas. Timbulnya pernapasan sulit dan tidak teratur, suara napas ronchi.
i.        Keamanan
Perubahan persepsi sensori terhadap orientasi tempat tubuh. Hilangnya kewaspadaan terhadap bagian tubuh yang sakit. Tidak mampu mengenali obyek, warna, kata dan wajah yang pernah dikenalnya. Kesulitan dalam menelan, tidak mampu memenuhi kebutuhan nutrisi sendiri.
j.        Interaksi sosial
Masalah bicara, kesulitan/ketidakmampuan berkomunikasi.
k.      Penyuluhan / pembelajaran
Adanya riwayat hipertensi, stroke pada keluarga
Pemakaian kontrasepsi oral, kecanduan alkohol.
2.      Diagnosa Keperawatan
      Diagnosa keperawatan adalah gambaran tentang masalah atau status kesehatan pasien yang nyata (aktual) dan kemungkinan akan terjadi (potensial) dimana pemecahannya dalam batas wewenang perawat (Effendy, 1995).                         
     Diagnosa keperawatan yang muncul menurut Doenges, dkk (1999) pada klien stroke, yaitu meliputi:
a.       Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan adanya sumbatan pembuluh darah otak (Vasospasme Cerebral).
b.      Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan (kerusakan neuromuskular).
c.       Kerusakan komunikasi verbal dan atau tertulis  berhubungan dengan kerusakan sirkulasi serebral, kerusakan neuromuskular, kehilangan tonus/kontrol otot fasia/otot, kelemahan.
d.      Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan kehilangan koordinasi/kontrol, perubahan persepsi sensori integrasi trauma neurologis atau defisit.
e.       Gangguan harga diri berhubungan dengan perubahan biofisik, psikososial, perseptual kognitif.
f.       Kurang perawatan diri berhubungan dengan, kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan dan ketahanan,  kehilangan kontrol, kerusakan persepsi/kognitif, ketidaknyamanan dan depresi.
g.      Resiko tinggi terhadap kerusakan menelan berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler/perseptual.
h.      Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan pengobatan berhubungan dengan kurang informasi, keterbatasan kognitif, kesalahan interpretasi informasi dan tidak mengenal sumber – sumber informasi.
3.      Perencanaan / Intervensi
Rencana asuhan keperawatan sebagai pedoman tertulis untuk melaksanakan tindakan keperawatan dalam membantu pasien memecahkan masalah serta memenuhi kebutuhannya dan mengkoordinir staf keperawatan dalam melaksanakan asuhan keperawatan (Effendi, 1995).
Langkah-langkah dalam menyusun rencana keperawatan menurut Effendi (1995), yaitu:
a.       Prioritas Diagnosa Keperawatan
Dalam menyusun prioritas diagnosa keperawatan yang mengancam kehidupan atau keselamatan pasien harus ditempatkan pada prioritas yang tertinggi. Penentuan prioritas dilakukan karena tidak semua masalah dapat diatasi dalam waktu yang bersamaan dan diperlukan pedoman dalam menentukan prioritas diagnosa keperawatan sebagai berikut:
1)      Segera
Apabila perlu pelayanan keperawatan dengan segera karena keadaan yang mengancam jiwa, baik keselamatan diri sendiri maupun secara aktif.
2)      Urgen
Apabila masalah pasien memerlukan pelayanan yang tepat terhadap suatu keadaan yang tidak mengandung resiko tinggi.
3)      Non urgen
Apalagi problem timbul secara perlahan–lahan dan dapat ditolerir oleh pasien sendiri.
4)      Cara lain :
Cara lain yang dapat digunakan untuk menentukan skala prioritas masalah keperawatan dengan menilai pasien sebagai makhluk biologis-psikologis, sosial, spiritual berdasarkan tingkatan kebutuhan menurut Hierarki A. Maslow, yaitu kebutuhan fisik, rasa aman, kebutuhan mencintai dan dicintai, memiliki harga diri serta kebutuhan perwujudan diri.
b.      Merumuskan tujuan
      Tujuan keperawatan adalah hasil yang ingin dicapai dari asuhan keperawatan yang direncanakan untuk menanggulangi/ mengatasi masalah yang telah dirumuskan dalam diagnosa keperawatan (DepKes,1994).
1)      Tujuan Jangka Panjang
Adalah hasil yang diharapkan memerlukan waktu yang lebih lama.
2)      Tujuan Jangka Pendek
Hasil memerlukan kurun waktu yang yang cepat yaitu jam/hari.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menuliskan tujuan keperawatan yaitu spesifik (S), Measurable (M), Achieveable (A), Reality (R), Time Limited (T) (DepKes, 1994).
c.       Menentukan kriteria
Target yang ingin dicapai yang bersifat yang berhubungan dengan tujuan khusus dan konkrit, hasilnya dapat dilihat, didengar, diraba, dan diukur oleh orang lain dan dinyatakan dengan istilah positif (Effendi, 1995).
d.      Merumuskan Rencana Tindakan Keperawatan
Membuat rencana tindakan keperawatan sesuai dengan yang telah direncanakan oleh perawat untuk membantu klien dalam mencapai suatu tujuan (Effendi,1995).
Rencana tindakan pada klien dengan stroke menurut Doenges, dkk (1999) :
1)      Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan adanya sumbatan pembuluh darah otak (Vasospasme Serebral).
Tujuan : Klien mampu memperlihatkan perfusi jaringan otak yang   adekuat setelah dilakukan perawatan selama 6 hari.
Kriteria hasil :
a)      Menunjukkan tidak ada kelanjutan deteriorasi/ kekambuhan defisit sensori (tidak terjadi pandangan kabur).
b)      Status neurologi pasien meningkat dan sirkulasi otak normal.
c)      Tidak terjadi penurunan kesadaran, nilai Glascow Coma Scale
d)     Pasien dapat berorientasi terhadap waktu, orang, tempat.
Intervensi:
a)      Kaji faktor–faktor yang menyebabkan perfusi jaringan otak.
Rasional: Dapat diketahui sejauh mana perkembangan status neurologi pasien.
b)      Monitor status neurologi secara teratur
Rasional: Perubahan membaik atau memburuk status neurologi menunjukkan keadaan perfusi cerebral.
c)      Monitor vital sign setiap 15-20 menit seperti :
(1)   Adanya hipertensi atau hipotensi, bandingkan tekanan darah yang terbaca pada kedua tangan.
(2)   Catat pola dan irama pernapasan seperti adanya pernapasan cheynes stokes.
(3)   Frekuensi dan irama jantung auskultasi adanya murmur.
Rasional:
(1)   Hipotensi postural dapat menjadi pencetus tersumbatnya arteri subklavia dapat dinyatakan dengan adanya perbedaan tekanan pada kedua lengan.
(2)   Ketidakteraturan pernapasan dapat memberikan gambaran lokasi kerusakan serebral atau peningkatan tekanan intrakranial.
(3)   Perubahan terutama adanya bradikardi dapat terjadi sebagai akibat adanya kerusakan otak. 
d)     Kaji perubahan penglihatan
Rasional: Dapat diketahui area spesifik otak yang mengalami kerusakan
e)      Letakkan kepala dengan posisi agak ditinggikan dan dalam posisi anatomis (netral)
Rasional: Menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan sirkulasi atau perfusi serebral.
f)       Pertahankan keadaan tirah baring, ciptakan lingkungan yang tenang.
Rasional:  Aktivitas yang berlebihan dapat meningkatkan tekanan intra kranial
g)      Letakkan posisi pasien dengan kepala sedikit lebih tinggi dan dalam posisi terlentang.
Rasional: Menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan sirkulasi atau perfusi serebral.
(1)   Hipertensi terjadi selama stroke akut
(2)   Memperbaiki sirkulasi kolateral atau menurunkan vasospasme.
h)      Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian:
(1)   Anti hipertensi
(2)   Vasodilatasi perifer
                  Rasional: Dapat memberikan informasi tentang keefektifan pengobatan.
i)        Monitor pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi
Rasional: Mengetahui perkembangan dengan hasil sebelumnya
2)       Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan, parestesia dan paralisis spastik.
Tujuan: Pasien mampu memperlihatkan mobilitas dan fungsi
             dalam batasan fisiologis atau sesuai kemampuan.
Kriteria hasil:
a)      Mempertahankan posisi optimasi dari fungsi yang dibuktikan oleh adanya kontraktur
b)      Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang terkena.
c)      Mempertahankan integritas kulit
d)     Pasien dapat melakukan mobilisasi.
Intervensi:
a)      Kaji kemampuan secara fungsional dengan cara teratur
   Rasional: Mengidentifikasikan kekuatan/kelemahan dan dapat memberikan informasi mengenai pemulihan.
b)      Ubahlah posisi minimal 2 jam
   Rasional: Menurunkan resiko terjadinya trauma/iskemia jaringan.
c)      Tinggikan tangan dan kepala pasien
   Rasional: Meningkatkan aliran balik vena dalam membantu mencegah terbentuknya odema.
d)     Bantu untuk mengembangkan keseimbangan duduk (seperti meninggikan bagian kepala tempat tidur)
   Rasional: Membantu melatih kembali saraf, meningkatkan respon propiostik dan motorik.       
e)      Konsultasi dengan ahli psikologis secara aktif, latihan resisif.
Rasional: Program yang khusus dapat mengembangkan keseimbangan, koordinasi dan kekuatan tubuh.
f)       Kolaborasi dalam pemberian obat relaksan
   Rasional: Diperlukan untuk menghitung spastisitas yang terganggu.
3)      Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi cerebral, kerusakan neuromuskuler, kehilangan tonus otot.
Tujuan: Pasien dapat menunjukkan kemampuan dalam berkomunikasi dengan efektif meskipun ada keterbatasan dan dapat mengemukakan perasaannya.
Kritera hasil:
a)      Mengidentifikasi pemahaman tentang masalah komunikasi
b)       Pasien dapat mengekspresikan kebutuhannya dengan komunikasi sesuai kemampuannya.
c)      Pasien atau keluarga dapat berkomunikasi dengan menggunakan sumber–sumber yang tepat.
Intervensi:
a)      Kaji tipe/derajat kemampuan pasien untuk berkomunikasi, misal: kesulitan berbicara, kemampuan untuk mengerti kalimat yang diucapkan.
           Rasional: Dapat diketahui derajat kerusakan cerebral serta kemampuan pasien untuk berkomunikasi.
b)      Tunjukkan objek dan minta pasien untuk menyebutkan nama benda tersebut.
           Rasional: Melakukan penelitian terhadap adanya           kerusakan motorik.
c)      Arahkan kesalahan dalam komunikasi dan berikan umpan balik.
      Rasional: Dengan mengarahkan komunikasi dapat berjalan lancar dengan baik dan umpan balik digunakan untuk memotivasi pasien.          
d)     Libatkan keluarga untuk melatih bicara.
    Rasional: Dengan melibatkan keluarga untuk melatih bicara maka akan mempercepat rangsangan pasien untuk berkomunikasi.
e)      Latih pasien untuk berbicara sesuai kemampuannya.
    Rasional: Dapat melatih otot wajah.
f)       Gunakan alternatif komunikasi bentuk lain, misalnya dengan tulisan dan gambar.
    Rasional: Penggunaan komunikasi non verbal diperlukan bila pasien tidak bisa  berkomunikasi secara verbal.
g)      Konsultasikan dengan ahli terapi wicara.
   Rasional: Dengan melakukan konsultasi dapat mengidentifikasi kekurangan/kelebihan terapi.
4)      Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan trauma    neurologis, kehilangan koordinasi/kontrol.
Tujuan: Pasien tidak mengalami perubahan persepsi sensori.
Kriteria hasil:
g)      Mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi perseptual.
h)      Mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlibatan residual.
Intervensi:
a)      Kaji keadaan sensorik, seperti membedakan panas/dingin, tajam atau tumpul.
Rasional: Penurunan kesadaran terhadap sensorik dapat berpengaruh buruk terhadap keseimbangan tubuh.
b)      Ciptakan lingkungan yang sederhana, pindahkan perabot yang membahayakan.
Rasional: Dapat menurunkan jumlah stimulasi penglihatan yang dapat menimbulkan keinginan terhadap lingkungan.
c)      Hilangkan kebisingan/stimulasi eksternal yang berlebihan sesuai kebutuhan.
Rasional: Menurunkan ansietas dan respon emosi yang berlebihan.
d)     Menurunkan ansietas dan respon emosi yang berlebihan.
Rasional: Membantu pasien untuk mengidentifikasi ketidak konsistenan dan integritas stimulasi.
5)       Gangguan harga diri berhubungan dengan perubahan biofisik,      psikososial,  perseptual kognitif.
Tujuan: Pasien dapat menerima keadaan dan mampu berkomunikasi dengan orang terdekat.
Kriteria hasil:
a)      Mengungkapkan penerimaan pada diri sendiri dalam situasi.
b)      Pasien kooperatif dalam perawatan sehari – hari.
c)      Pasien dapat mengekspresikan pikiran dan perasaannya.
Intervensi:
a)      Kaji luasnya gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat ketidakmampuan.
Rasional: Dengan mengkaji gangguan persepsi dapat ditentukan tindakan keperawatan berikutnya.
b)      Bantu dan dorong kebiasaan berpakaian dan berdandan yang baik.
Rasional: Dapat membantu meningkatkan rasa harga diri dan kontrol elbus salah satu bagian kehidupan.
c)      Libatkan keluarga untuk mendukung keadaan pasien sehingga dapat menghadapi keberadaannya dan menimbulkan semangat hidup serta kemandiriannya.
Rasional: Dapat membangun kembali rasa kemandirian dan percaya diri pada pasien.
d)     Berikan penguatan terhadap penggunaan alat-alat adaptif        (seperti: tongkat untuk berjalan).
Rasional: Dapat meningkatkan kemandirian, menurunkan ketergantungan terhadap orang lain.
e)      Dengarkan dan temani pasien saat mengekspresikan pikiran dan perasaan.
Rasional: Meningkatkan rasa percaya dan merasa dihargai, menghilang perasaan negatif dirinya.
f)       Rujuk ke neuropsikologis atau konseling sesuai kebutuhan.
Rasional: Dapat memudahkan adaptasi terhadap perubahan peran yang perlu.
6)       Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, penurunan kegiatan dan ketahanan, kehilangan kontrol/kelemahan.
Tujuan: Pasien dapat memenuhi perawatan diri sendiri sesuai  dengan kondisinya.
Kriteria hasil:
a)            Melakukan aktivitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan sendiri.
b)              Mengidentifikasi sumber pribadi/komunikasi memberikan bantuan sesuai dengan kebutuhan.
Intervensi:
a)            Kaji kemampuan dan tingkatkan kekurangan pasien untuk melakukan kebutuhan sehari- hari.
Rasional: Dapat membantu dalam mengantisi-pasi/merencanakan pemenuhan kebutuhan secara individu.
b)            Pertahankan dukungan, sikap yang tegas. Beri pasien waktu yang cukup untuk mengerjakan tugas.
Rasional: Pasien akan merasa diperhatikan dan merasa dihargai.
c)            Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukan atas keberhasilannya.
Rasional: Dapat meningkatkan perasaaan makna diri.
d)           Gunakan alat bantu pribadi seperti kloset duduk yang tinggi.
Rasional: Pasien dapat menangani dirinya sendiri, meningkatkan kemandirian dan harga diri.
e)            Libatkan keluarga dalam memenuhi perawatan diri pasien.
Rasional: Keluarga dapat memenuhi bagaimana caranya membantu pasien dalam memenuhi perawatan dirinya sendiri.
f)             Konsultasi dengan ahli fisioterapi ahli terapi okupasi.
Rasional: Memberikan bantuan yang mantap untuk mengembangkan rencana terapi dan mengidentifikasikan kebutuhan alat penyokong khusus.
7)      Resiko tinggi terhadap kerusakan menelan berhubungan dengan     kerusakan neuromuskuler.
Tujuan: Pasien tidak mengalami kesulitan menelan.
Kriteria hasil:
a)      Menunjukkan cara makan yang tepat dan benar
b)      Tidak terjadi aspirasi saat makan
c)      Klien mau makan
d)     Berat badan dapat dipertahankan
Intervensi:
a) Tinjau ulang kemampuan menelan pasien. Timbang berat badan secara teratur
Rasional: Untuk menentukan intervensi selanjutnya.
b) Tingkatkan upaya untuk dapat melakukan proses makan yang efektif, seperti: Bantu pasien dengan mengontrol kepala.
Rasional: Menetralkan hiperekstensi, membantu mencegah aspirasi, dan meningkatkan kemampuan untuk menelan
c) Stimulasi bibir untuk menutup dan membuka mulut secara manual.
Rasional: Membantu dalam melatih kembali sensori dan meningkatkan control muskuler.
d) Letakkan makanan pada daerah mulut yang tidak terganggu.
Rasional: Memberikan stimulasi sensorik dapat mencetuskan usaha untuk menelan dan meningkatkan masukan
e)      Berikan makanan ditempat yang tenang dan secara perlahan- lahan.
Rasional: Pasien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa adanya distraksi
f)       Anjurkan pasien menggunakan sedotan untuk meminum cairan.
Rasional: Menguatkan otot fasial dan otot menelan dan menurunkan resiko tersedak.
8)      Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan pengobatan berhubungan   dengan kurangnya informasi mengenai penyakit pengobatan, keterbatasan kognitif.
Tujuan:  Pengetahuan klien meningkat
Kriteria:
a) Klien mampu menyebutkan pengertian penyakit, kondisi, dan penanganannya.
b) Pasien memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan.
Intervensi:
a) Evaluasi tipe/derajat dari gangguan persepsi sensori
Rasional: Menentukan cara atau metode dalam penyampaian materi
b) Diskusikan keadaan patologis yang khusus dan kekuatan pasien.
Rasional: Membantu dalam membangun harapan yang realistis dan meningkatkan pemahaman terhadap keadaan dan kebutuhan saat ini.
c) Berikan pendidikan kesehatan mengenai pengertian penyakit dan penanganannya.
Rasional: Meningkatkan pengetahuan klien.



d) Diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.
Rasional: Menentukan tingkat bantuan yang disesuaikan berdasarkan kebutuhan pasien.
e) Rujuk/tegaskan perlunya evaluasi dengan tim ahli rehabilitasi, seperti ahli fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara.
Rasional: Kerja yang baik pada akhirnya diharapkan/meminimalkan adanya gejala sisa atau penurunan neurologis.
f) Rujuk pada perencanaan pemulihan/pengawasan perawatan dirumah dengan mengunjungi rumah.
Rasional: Lingkungan rumah mungkin memerlukan evaluasi dan modifikasi untuk memenuhi kebutuhan individu.
4.      Pelaksanaan/Implementasi
Pelaksanaan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995). Jenis – jenis tindakan pada tahap implementasi adalah:



a.       Secara mandiri (independent)
Adalah tindakan yang diprakarsai sendiri oleh perawat untuk membantu pasien dalam mengatasi masalahnya dan menanggapi reaksi karena adanya stressor.
b.      Saling ketergantungan (interdependent)
Adalah tindakan keperawatan atas dasar kerja sama tim keperawatan dengan tim kesehatan lainnya, seperti  dokter, fisioterapi, dan lain- lain.
c.       Rujukan/ketergantungan (dependent)
Adalah tindakan keperawatan atas dasar rujukan dan profesi lainnya diantaranya dokter, psikiater, ahli gizi dan sebagainya.
5.      Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan. Evaluasi adalah kegiatan yang disengaja dan terus menerus dengan melibatkan pasien, perawat, dan anggota tim kesehatan lainnya (Lismidar, 1990).

C.        Dokumentasi

Dokumentasi keperawatan merupakan suatu catatan yang memuat seluruh informasi yang dibutuhkan untuk menentukan diagnosis keperawatan, menyusun rencana keperawatan, melaksanakan dan mengevaluasi tindakan keperawatan yang disusun secara sistematis, valid, dan dapat dipertanggung jawabkan secara moral dan hukum (Zaidin, 1998).
Tindakan pendokumentasian keperawatan mencakup pencatatan secara sistematis terhadap semua kejadian dalam ikatan kontrak perawat-klien dalam kurun waktu tertentu secara jelas, lengkap dan obyektif (Nursalam,  2001).
Sedangkan menurut Lismidar, dkk, (1990) dokumentasi keperawatan merupakan alat pertanggungjawaban terhadap asuhan keperawatan yang telah dilakukan oleh perawat. Selain itu dokumentasi juga sebagai alat dan sumber informasi bagi tindak kesehatan, sarana komunikasi antara perawat dan sebagai evaluasi tahap kebersihan asuhan keperawatan yang telah dilakukan. 
Fungsi dokumentasi menurut Effendi (1995) adalah:
1.      Sebagai alat komunikasi antar anggota keperawatan dan
antar anggota tim kesehatan lain.
2.      Sebagai dokumen resmi dalam sistem pelayanan kesehatan
3.      Dapat digunakan sebagai bahan penelitian dalam bidang
kesehatan.
4.      Sebagai alat yang digunakan dalam bidang pendidikan
keperawatan.
5.      Sebagai alat pertanggung jawaban dan pertanggunggugatan
asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zaidin.1998. Dasar-Dasar Keperawatan Profesional. Jakarta: Widya Medika.

Baughman.2002. Keperawatan Medikal Bedah Buku Saku untuk Brunner dan Sudarth. Jakarta: EGC.

Budi, Santosa. 2006. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima Medika.

Carpenito, L.J. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan.Ed.6. Jakarta: EGC.

Depkes.1994. Standar Tenaga Keperawatan di RS cet 1.Jakarta: Direktorat Jendral Pelayanan Medik.

Depkes.1995. Asuhan  Keperawatan Pada Klien Gangguan Persarafan. Jakarta: Depkes RI

Depkes RI. 2002. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta: Departemen Kesehatan RI

Doenges, M.E. dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.Ed.3. Jakarta: EGC.

Effendi, N.1995. Proses keperawatan. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Harsono, 1996. Buku Ajar neurologi Klinis.Ed.1. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hudack dan Gallo, 1996. Keperawatan Kritis (Pendekatan Holistik).Vol.2. Ed.6. Jakarta: EGC.

Lismidar,1990. Proses Keperawatan.Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Long, Barbara.C. 1996. Perawatan Medikal Bedah: Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Bandung: Yayasan IAPK.

Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran.Ed.3.Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.

Nursalam. 2001. Proses dan Dokumentasi Keperawatan Konsep dan Praktik. Edisi I. Jakarta : Salemba Medika.

Potter dan Perry.2006.Buku  Ajar Fundamental Keperawatan.Jakarta: EGC

Priharjo, R. 1996. Pengkajian Fisik Keperawatan. Jakarta : EGC.


Satyanegara.1998. Ilmu Bedah Saraf. Ed.3. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Smeltzer, S. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner dan Suddart.  Ed.8. Jakarta:  EGC.

Trulyjogja.2007. Angka penderita stroke di DIY tiap tahunnya terus meningkat.www.trulyjogja.com/html. Diakses tanggal 13 Agustus 2007.

Tucker, S.M. 1998. Standar Perawatan Pasien: Proses Perawatan. Diagnosis dan Evaluasi.  Ed.5. Jakarta: EGC.

Yastroki.2007.Yastroki tangani masalah stroke di Indonesia. http://www.yastroki.or.id/ Yayasan Stroke Indonesia.html. Diakses tanggal 13 Agustus 2007.






Facebook Twitter RSS