PRINSIP PENANGANAN DEMAM BERDARAH DENGUE PADA ANAK

A.   PENDAHULUAN



Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan virus dengue. Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti / Aedes Albopictus betina yang sebelumnya telah membawa virus dalam tubuhnya dari penderita demam berdarah lain. Nyamuk Aedes Aegypti  sering menggigit manusia pada waktu pagi dan siang. (www.litbang.depkes.go.id. Diakses pada 6 Oktober 2011).
Dalam penatalaksanaan pasien dengan DBD membutuhkan perhatian yang khusus karena kemungkinan terjadi kesalahan penentuan terapi akibat dari proses pengkajian yang rumit pada anak yang sering terjadi. WHO (2009) mencatat Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asean dan 95% kasus DBD terjadi pada anak-anak di bawah 15 tahun. (www.datin- kessulsel.wordpress.com. Diakses pada 9 Oktober 2011).

B.    PEMBAHASAN

1.     Pengertian

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan virus dengue. (www.litbang.depkes.go.id. Diakses pada 6 Oktober 2011).

2.     Penyebab

DBD disebabkan oleh virus dengue yang termasuk kelompok B Arthtropod Borne Virus (Arbovirus) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu : DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Serotipe virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4) secara antigenik sangat mirip satu dengan lainnya, tetapi tidak dapat menghasilkan proteksi silang yang lengkap setelah terinfeksi oleh salah satu tipe. Keempat serotipe virus dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat. (www.adulgopar.files. wordpress.com. Diakses pada 6 Oktober 2011)

3.     Diagnosis

Menurut WHO (2009) kriteria yang harus dipenuhi untuk menegakkan diangosa DBD adalah sebagai berikut:

a.       Klinis

     Gejala klinis yang harus ada yaitu :
      1)      Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari
      2)      Terdapat manifestasi pendarahan yang meliputi :
       a)      Uji bendung positif
      b)      Petekie, ekimosis, dan purpura
      c)      Perdarahan mukosa, epistaksis, dan perdarahan gusi
     d)     Hematemesis dan atau melena
   3)      Pembesaran hati
  4)      Syok, ditandai dengan nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan tekanan nadi (≤ 20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, waktu pengisian kapiler memanjang (lebih dari 2 detik) dan pasien tampak gelisah.

b.      Laboratorium

1)      Trombositopenia (100.000 µl atau kurang)
2)    Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler, dengan manifestasi berikut:
a)      Peningkatan hematoktit ≥ 20% dari nilai standar
b)      Penurunan hematoktit ≥ 20% setelah mendapat terapi cairan
c)      Efusi pleura atau perikardial, asites, maupun hipoproteinemia
Dua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria laboratorium (atau hanya peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan diagnosis DBD.

4.     Tanda dan Gejala

Menurut WHO (2009) tanda dan gejala pasien DBD diklasifikasikan sebagai berikut :
a.       Fase Demam
Pasien biasanya demam tinggi secara tiba-tiba. Pada fase demam akut ini, biasanya berlangsung dari 2-7 hari dan kompensasinya sering terjadi nyeri sendi, eritema, seluruh badan terasa sakit, myalgia, athralgia dan nyeri kepala. Anoreksia, nausea, dan muntah sering terjadi. Tes tourniquet positif. Manifestasi dari perdarahan seperti petekie dan perdarahan membran mukusa (seperti epistaksis, perdarahan gusi). Perdarahan vagina yang masif (pada wanita usia subur), namun perdarahan gastroinstestinal jarang terjadi. Hepatomegali sering timbul setelah beberapa hari setelah terjadi demam. Terjadi penurunan jumlah sel darah putih yang harus diwaspadai untuk tingginya kemungkinan terjadinya DBD.
b.      Fase kritis
Terjadi saat suhu tubuh mengalami penurunan sampai normal, saat suhu turun dari 37,5-38°C atau suhu dibawah normal, biasanya terjadi pada hari ketiga sempai ketujuh saat permeabilitas kapiler meningkat dengan adanya peningkatan hematokrit. Periode saat fase kritis terjadi saat terjadi kebocoran plasma dan biasanya berakhir 24-48 jam.
Leukopenia diikuti dengan penurunan trombosit secara cepat biasanya terjadi sebelum adanya kebocoran plasma. Pasien yang tidak mengalami peningkatan permeabilitas kapiler akan membaik, sedangkan pasien yang mengalami peningkatan permeabilitas kapiler akan memburuk akibat volume plasma yang hilang. Tingkat kebocoran plasma bervariasi. Efusi pleura dan asites secara klinis terdeteksi tergantung pada tingkat kebocoran plasma dan terapi cairan yang diberikan. Rontgent dada dan USG abdomen dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis. Tingkat kenaikan hematokrit dapat menunjukkan beratnya kebocoran plasma.
Shok terjadi saat terjadi kebocoran plasma yang didahului dengan tanda peringatan (nyeri abdomen, muntah berkepanjangan, perdarahan mukosa, latergi atau gelisah, hepatomegali lebih dari 2 cm, hematokrit menurun disertai penurunan trombosit). Selama terjadi shok, suhu tubuh dibawah normal. Saat shok berkepanjangan pasien mengalami hipoperfusi organ, asidosis metabolik, dan terjadi peningkatan koagulasi intravaskuler. Perdarahan yang parah terjadi akibat penurunan hematokrit. Leukopenia biasanya terdeteksi sebelum fase demam. Pada pasien dengan perdarahan hebat jumlah sel darah putih akan meningkat.
Pasien yang membaik setelah suhu badan mengalami penurunan hingga normal dapat dikatakan mengalami demam berdarah yang tidak parah. Beberapa pasien menjadi kritis karena kebocoran plasma tanpa mengalami penurunan suhu tubuh menjadi normal.
Pasien memburuk jika terjadi manifestasi dari tanda peringatan. DBD dengan tanda bahaya akan teratasi dengan rehidrasi intravena.
c.       Fase penyembuhan
Jika pasien membaik pada 24-48 jam setelah fase kritis, readsorpsi berangsur-angsur terjadi akibat dari cairan kompartemen ektraseluler pada 48-72 jam. Kondisi umum mengalami perbaikan, nafsu makan membaik, gangguan gastroinstestinal membaik, dan status hemodinamik stabil. Beberapa pasien mengalami rash dengue dan adanya prurutis.
Hematokrit menjadi stabil atau menurun akibat dari efek pengenceran terapi cairan. Jumlah sel darah putih biasanya meningkat setelah penurunan suhu tubuh sampai normal tetapi pemulihan jumlah trombosit lebih lambat dari pemulihan sel darah putih. Distress pernafasan dari efusi pleura yang masif dan asites akan terjadi kapan saja jika terjadi kelebihan terapi cairan intravena. Sejak fase kritis dan/ penyembuhan, terapi cairan yang berlebih akan menyebabkan edema pulmo atau congestive heart failere.
d.      Demam berdarah berat
Demam berdarah berat didefinisikan oleh satu atau lebih hal berikut : (1) Kebocoran plasma yang dapat menyebabkan shock dan/ atau kelebihan cairan dengan atau tidak adanya distress pernafasan dan/ atau (2) perdarahan berat, dan /atau (3) kerusakan organ.
Penurunan permeabilitas vaskuler, hipovolemia memburuk yang dapat menyebabkan syok yang biasanya terjadi saat terjadi penurunan suhu tubuh menjadi normal pada hari keempat atau kelima (kisaran hari ketiga-ketujuh) yang didahului dengan tanda-tanda peringatan. Pada fase awal shok, mekanisme kompensisi yang mempertahankan tekanan darah sistolik juga menyebabkan takikardi dan vasokonstriksi perifer dengan penurunan perfusi jaringan yang menyebabkan akral dingin, dan menurunnya waktu pengisian kapiler. Pasien dengan demam berdarah berat ini biasanya masih sadar. Pasien sering mengalami dekompensasi dan tekanan sistolik dan diastolik tiba-tiba menghilang. Shok hipotensi dan hipoksia yang berkepanjangan dapat menyebabkan kegagalan multi organ dan sulit untuk menangani masalah klinis pasien.
Pasien dianggap shok jika tekanan darah (yaitu perbedaan antara tekanan sistolik dan diastolik) ≤ 20 mmHg atau terjadinya penurunan perfusi jaringan (ekstremitas dingin, lambatnya pengisian kapiler, atau nadi meningkat). Untuk dewasa, tekanan darah ≤ 20 mmHg dapat mengidentifikasi shok yang lebih parah. Hipotensi biasanya menunjukkan adanya shok bekepanjangan yang komplikasinya menyebabkan perdarahan.
Pasien demam berdarah dengan shok mengalami abnormalitas koagulasi darah tetapi biasanya tidak menyebabkan perdarahan hebat. Saat terjadi perdarahan hebat dan biasanya selalu menyebabkan shok berulang. Hal ini juga disebabkan karena adanya trombositopenia, hipoksia, asidosis, yang dapat menyebabkan kerusakan multi. Perdarahan yang masif mungkin terjadi tanpa adanya shok berulang misalnya ketika pasien diberi asam (aspirin), asetil salisilat, ibuprofen atau kortikosteroid.
Dengue shock syndrome dapat dipertimbangkan jika pasien berada pada daerah resiko demam berdarah dengan panas 2-7 hari dan ditambah salah satu dari:
                   1)     Ada bukti kebocoran plasm
                         a)      Tinggi atau meningkatnya hematokrit
                   b)      Efusi pleura atau asites
                   c)      Gangguan sirkulasi atau shok (takikardi, akral dingin atau lembab, waktu pengisian kapiler 
                        lebih dari 3 detik, denyut nadi lemah atau tidak teraba, tekanan darah menyempit, shok 
                        berulang, tekanan darah tidak terdeteksi)
                d)     Terdapat perdarahan yang signifikan
                e)      Gangguan kesadaran ( latergi atau gelisah, koma, kejang)
                f)       Gangguan gastroinstestinal berat (muntah yang terus menerus, meningkatnaya intensitas nyeri
                      perut, atau ikterik)
                g)      Kerusakan organ (gagal ginjal akut gagal hati akut, ensepalopati atau enchepalitis, 
                      kardiomiopati)  atau manifestasi yang tidak biasa lainnya.

5.     Manajemen Terapi

Proses yang terorganisir yang mampu mendeteksi awal penyakit, manajemen, dan rujukan di semua tingkat pelayanan kesehatan diperlukan untuk mencegah timbulnya kematian akibat DBD. Informasi yang harus didapat dalam pengkajian pasien dengan kemungkinan DBD adalah sebagai berikut :
a.       Riwayat kesehatan
1)      Awal panas
2)      Jumlah dari masukan oral
3)      Pengkajian adanya tanda-tanda peringatan
4)      Adanya diare
5)      Perubahan status mental, kejang, atau pusing
6)      Keluaran urine (frekuensi, volume, dan waktu terakhir kencing)
1)      Riwayat kesehatan yan penting lainnya, misalnya riwayat tetangga yang menderita demam berdarah, riwayat perjalanan ke daerah endemik, kondisi yang melemahkan (misalnya pembentukan antibodi akibat HIV)
b.      Pemeriksaan fisik
1)      Pengkajian status mental
2)      Pengkajian status hidrasi
3)      Pengkajian status hemodinamik
4)      Penilaian adanya takipnea, asidosis respiratorik, hepatomegali, dan efusi pleura
5)      Penilaian turgor perut, hepatomegali, dan asites
6)      Tes tourniquet

c.       Penyelidikan

Hitung darah lengkap harus diambil saat pasien pertama kali datang ke pelayanan kesehatan. Hematokrit saat fase demam ditetapkan sebagai hematokrit dasar pasien. Penurunan sel darah putih meningkatkan kemungkinan terjadinya DBD. Penurunan trombosit disertai dengan kenaikan hematokrit meningkatkan resiko terjadi kebocoran plasma. Tes laboratorium harus dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Tes tambahan harus dipertimbangkan sebagai indikator (jika tersedia) meliputi : tes fungsi hati, glukosa, elektrolit serum, ureum, kreatinin, laktat atau bikarbonat, enzim jantung, EKG, dan berat jenis urin.

d.      Prinsip penanganan
Prinsip penanganan pasien dengan DBD dibagi menjadi tiga grup yang tergantung dari manifestasi klinis dan kondisi lain pasien yaitu :
                      1)     Grup A
Pasien yang dapat dirawat di rumah. Pasien yang mampu mentoleransi keadekuatan volume cairan oral dan keluaran urine minimal tiap 6 jam, dan tidak memiliki tanda peringatan terutama saat demam turun. Pasien rawat jalan harus diperiksa perkembangan penyakitnya (menurunnya sel darah putih, penurunan suhu tubuh, dan adanya tanda bahaya) sampai pasien keluar dari masa kritis. Pasien dengan hematokrit stabil dapat diperbolehkan pulang setelah disarankan untuk pulang kembali ke rumah sakit segera jika berkembang menjadi tanda-tanda peringatan dan bersedia memenuhi rencana tindakan sebagai berikut:
a)      Mematuhi masukan rehidrasi oral, jus buah dan cairan lain yang mengandung elektrolit dan gula untuk mengembalikan kehilangan cairan akibat demam dan muntah. Masukan cairan oral yang cukup didapatkan untuk mengurangi angka hospitalisasi
b)      Beri paracetamol untuk demam yang tinggi jika pasien tidak merasa nyaman. Interval pemberian paracetamol harus tidak kurang dari 6 jam. Kompres hangat jika pasien masih demam tinggi, jangan memberikan asetil salisilat dan asam (aspirin), ibuprofen, atau non steroid anti inflasami agen (NSAIDS) sebab obat tersebut dapat memperparah gastritis atau perdarahan. Asetil salisilat (aspirin) dapat menyebabkan Reye’s Syndrom.
c)      Instruksi dari pemberi pelayanan kesehatan agar pasien harus dibawa ke rumah sakit segera jika ada tanda-tanda: tidak ada perbaikan klinis, kemunduran waktu dari penurunan suhu tubuh, nyeri abdomen yang berat, muntah persisten, ekstremitas dingin dan lembab, latergi atau gelisah, atau perdarahan (misalnya: hitam dan ada stolselnya atau seperti kopi pada muntahnya), tidak kencing lebih dari 4-6 jam
Pasien yang diperbolehkan pulang harus dimonitor setiap hari oleh penyedia layanan kesehatan untuk grafik suhu, volume intake dan output, keluaran urine (volume dan frekuensi), tanda peringatan, tanda kebocoran plasma dan perdarahan, hematokrit, sel darah putih dan trombosit.
                      2)     Grup B
Pasien mungkin perlu dirawat di pusat perawatan kesehatan untuk mengobservasi lebih dekat terutama saat mereka mendekati fase kritis. Hal ini termasuk pasien dengan tanda peringatan, mereka yang dengan kondisi yang memperburuk yang dapat membuat DBD atau penanganan lebih komplek (misalnya ibu hamil, bayi, lansia, obesitas, diabetes miletus, gagal ginjal, dan penyakit hemolitik kronis), dan keadaan sosial tertentu (misalnya : hidup sendiri, atau hidup jauh dari pelayanan kesehatan tanpa ada transpotrasi yang diandalkan).
Jika pasien dengan demam berdarah dengan tanda bahaya, rencana tindakan yang harus dilakukan adalah :
a)      Cek hematokrit sebelum dilakukan terapi cairan. Beri isotonik misalnya NaCl 0,9% saline, RL, atau Hartman’S. Mulai dengan 5-7 cc/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian kurangi hingga 2-3 mL/ kgBB/jam atau kurang sesuai dengan respon klinis pasien.
b)      Nilai kembali status klinis pasien dan cek ulang hematokrit. Jika hematokrit tetap sama atau hanya mengalami sedikit kenaikan lanjutkan dengan terapi yang sama (2-3ml/kg/jam) sampai 2-4 jam. Jika tanda-tanda vital memburuk dan hematokrit meningkat dengan cepat naikkan cairan kira-kira 5-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam. Nilai ulang status klinis pasien. Cek ulang hematokrit dan nilai ulang ketepatan  tetesan infus.
c)      Beri volume cairan intravena untuk mempertahankan perfusi dan keluaran urine sekitar 0.5 ml/kg/jam. Cairan intravena bisanya dibutuhkan hanya 24-48 jam. Kurangi cairan intravena secara bertahap jika perdarahan plasma menurun menjelang akhir fase kritis.
d)     Pasien dengan tanda bahaya harus diobservasi oleh penyedia layanan kesehatan sampai periode beresiko berakhir. Keseimbangan cairan harus dijaga. Parameter yang harus dimonitor meliputi tanda-tanda vital dan perfusi jaringan (1-4 jam sampai pasien keluar dari fase kritis), keluaran urine (4-6 jam), hematokrit (sebelum dan sesudah penggantian cairan sekitar 6-12 jam), glukosa darah, dan fungi organ lain (misalnya: kondisi ginjal, hati, koagulasi darah)
Jika pasien DBD tanpa tanda peringatan, rencana tindakan yang harus dilakukan sebagai berikut :
a)      Dorong masukan oral. Jika pasien tidak mampu, awali dengan terapi cairan intravena dengan NaCl 0,9 Saline atau RL dengan atau tidak dengan dextrose di tingkat maintenance. Untuk pasien obesitas dan kelebihan berat badan gunakan berat badan ideal untuk mengatur cairan infus.
b)      Pasien harus dimonitor oleh penyedia pelayanan kesehatan untuk mengobservasi suhu, volume intake dan output cairan, keluaran urine (volume dan frekuensi), tanda peringatan, trombosit, sel darah putih dan hematokrit, dan tes laboratorium lain (misalnya: tes fungsi hati dan ginjal) dapat dilakukan tergantung klinis pasien.
                      3)     Grup C

Pasien yang harus memerlukan penanganan gawat darurat dan harus segera dirujuk saat terjadi demam berdarah berat. Pasien memerlukan tindakan emergensi dan rujuk segera saat mereka berada pada fase kritis, yaitu jika pasien mengalami :

a)      Kebocoran plasma berat yang mengarah pada shok dan/ atau akumulasi cairan dengan distress pernafasan
b)      Perdarahan berat
c)      Kerusakan organ yang berat (gangguan fungi hati, kerusakan ginjal, kardiomiopati, enchephalopti atau enchepalitis)
Semua pasien dengan demam berdarah hebat harus dirawat di rumah sakit yang memiliki akses untuk fasilitas perawatan intensif dan transfusi darah. Protap resusitasi cairan intravena penting dan biasanya satu-satunya hal yang diperlukan. Larutan kristaloid harus menjadi isotonik dan volume harus cukup untuk mempretahankan sirkulasi sejak terjadi kebocoran plasma. Plasma yang rendah harus segera diganti dan segera dengan larutan kritaloid atau jika dalam kasus shok hipotensi, penanganannya dengan koloid. Jika mungkin, pantau hematokrit sebelum dan setelah resusuitasi cairan.
Hal ini harus diakhiri dengan pengulangan untuk kehilangan plasma lebih lanjut untuk memelihara keefektifan sirkulasi untuk 24-48 jam. Untuk pasien dengan kelebihan berat badan dan obesitas, berat badan ideal harus digunakan untuk mengukur rata-rata cairan infus. Cross match harus dilakukan untuk semua pasien dengan syok. Transfusi darah harus diberikan hanya untuk kasus dengan suspek/ perdarahan berat.
Tujuan dari resusitasi cairan termasuk meningkatkan sirkulasi pusat dan perifer (menurunkan takikardia, meningkatkan tekanan darah, volume nadi, ekstremitas yang hangat dan berwarna merah muda, waktu pengisian  kapiler < 2 detik), meningkatkan berakhirnya kerusakan organ dengan adanya kesadaran yang stabil (lebih dari waspada atau tidak gelisah), urine output ≥ 0,5 ml/kg/jam, dan menurunkan kemungkinan terjadinya asidosis metabolik.
Rencana terapi pasien dengan shock terkompensasi adalah sebagai berikut:
a)    Mulai dengan resusitasi cairan intravena dengan kristaloid isotonik 5-10 ml/kg/jam selama lebih dari satu jam. Kemudian observasi kondisi pasien (tanda-tanda vital, waktu pengisian kapiler, hematokrit, dan keluaran urin).
b)   Jika kondisi pasien membaik, cairan intravena harus diturunkan bertahap 5-7 cc/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, kemudian 2-3 ml/kg/jam dan kemudian tergantung pada status hemodinamik dimana dapat dipertahankan selama 24-48 jam
c)    Jika tanda-tanda vital masih tidak stabil (shok persisten), setelah bolus pertama dilakukan pengecekan hematokrit. Jika hematorit naik atau masih tinggi (>50%) ulang bolus kedua dari larutan kristaloid 10-20 ml/ kg/jam selama 1-2 jam. Setelah bolus kedua, jika ada perbaikan turunkan bolus cairan menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam dan kemudian diturunkan secara bertahap. Indikator adanya perdarahan, cross match dan transfusi darah segera mengkin jika hematokrit menurun dibanding dengan hematokrit awal (<40% untuk anak dan wanita dewasa, <45% untuk laki-laki dewasa)
d)     Bolus cairan lebih lanjut dari kristaloid atau koloid mungkin diberikan selama 24-48 jam berikutnya.

C.   PENUTUP

1.     Kesimpulan

DBD merupakan penyakit yang disebabkan virus dengue. Tanda dan gejala ada pada pasien DBD yaitu :
a.       Demam tinggi selama 2-7 hari
b.      Terdapat manifestasi pendarahan
c.       Pembesaran hati
d.      Syok
e.       Trombositopenia (100.000 µl atau kurang)
f.       Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler
Riwayat kesehatan, penyelidikan dan pemeriksaan fisik yang mendukung kemungkinan DBD harus dilakukan untuk mencegah kematian akibat DBD dan mengurangi angka hospitalisasi. Sedangkan prinsip penanganan DBD tergantung dari manifestasi klinis dan kondisi pasien.

2.     Saran

a.       Semua petugas di pelayanan kesehatan mampu mendeteksi awal kemungkinan terjadinya DBD sehingga penanganan DBD dapat tepat dan segera dilakukan.
b.      Petugas di pelayanan kesehatan sebaiknya memberikan pendidikan kesehatan tentang DBD pada pasien DBD dan keluarganya

D.   DAFTAR PUSTAKA

Alihbahasa, Tim Adaptasi Indonesia. 2009. Buku Saku Penyanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: WHO Indonesia

www.adulgopar.files. wordpress.com. Diakses pada 6 Oktober 2011

www.datinkessulsel. wordpress.com. Diakses pada 9 Oktober 2011

www.litbang.depkes.go.id. Diakses pada 6 Oktober 2011

Facebook Twitter RSS