ASKEP SIROSIS HEPATIS


A.   Konsep Dasar
1.    Pengertian Sirosis Hepatis
Banyak sekali batasan tentang penyakit Sirosis hepatis, diantaranya adalah :
a.    Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai dengan adanya peradangan difus dan membran pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan regresi sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati (Mansjoer, 2001).
b. Sirosis hepatis adalah penyakit kronis progresif yang dikarakteristikan oleh penyebaran inflamasi dan fibrosis pada hepar. (Engram, 2000).

2.    Etiologi
Meskipun ada beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi dari sirosis hepatis, konsumsi alkohol dianggap sebagai penyebab yang utama. Sirosis sering terjadi dengan frekwensi paling tinggi adalah pada peminum minuman keras, meskipun defisisensi gizi dengan penurunan asupan protein turut menimbulkan kerusakan hati pada sirosis, namun asupan alkohol yang berlebihan merupakan faktor penyebab yang utama pada perlemakan hati dan konsekwensi yang ditimbulkanya. Sirosis juga pernah terjadi pada individu yang tidak memiliki kebiasaan minum minuman keras dan pada individu yang dietnya normal tetapi dengan konsumsi alkohol yang tinggi.
Sebagian individu, tampaknya lebih rentan terhadap penyakit ini dibanding individu yang lain tanpa ditentukan apakah individu tersebut mempunyai kebiasaan minum minuman keras ataukah menderita malnutrisi. Faktor lain yang dapat memainkan peranan adalah pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon tetraklorida, naftul terklorinasi, arsen atau fosfor) atau infeksi skistosomia yang menular. Jumlah penderita laki-laki lebih banyak dari pada wanita dan mayoritas klien sirosis berusia 40 hingga 60 tahun.
3.    Tipe Sirosis Hepatis
a.    Menurut Brunner, (2000) Sirosis hepatis ada tiga tipe yaitu :
1)       Sirosis portal laennec
Alkoholik nutrisional dimana jaringan parut secara khas mengelilingi jaringan portal. Sirosis ini paling sering disebabkan oleh alkoholisme kronis dan merupakan dan merupakan tipe Sirosis yang paling sering terjadi di negara-negara barat.
2)       Sirosis pascanekrotik
Dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
3)       Sirosis bilier
Pembentukan jaringan parut terjadi di sekitar saluran empedu. Tipe ini biasanya terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan  infeksi (kolangitis) ; insidennya lebih rendah dari sirosis Laennec dan poscanekrotik.
Secara morfologi, sirosis hepatis dibagi atas jenis mikronoduler (portal), makronoduler (pascanekrotik) dan jenis campuran, sedang dalam klinik dikenal tiga jenis portal, pascanekrotik dan bilier. Penyakit-penyakit yang diduga sebagai penyebab dari sirosis hepatis adalah malnutrisi, alkoholisme, virus hepatitis, kegagalan jantung yang menyebabkan bendungan vena hepatika, penyakit wilson, hemokromatosis, zat toksik dan lain-lain (Mansjoer, 2001).
4.    Patofisiologis
Hati pada awal perjalanan penyakitnya cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak-lemak. Hati tersebut menjadi keras dan dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi akibat pembesaran hati yang cepat sehingga menyebabkan regangan pada selubung fibrosa hati (kapsule glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut ukuran hati akan mengecil setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan. Apabila dapat dipalpasi maka permukaan hati akan teraba benjol-benjol (Brunner, 2001).
Sirosis Laennec merupakan penyakit yang ditandai oleh episode nekrosis yang melibatkan sel-sel hati dan kadang-kadang berulang di sepanjang perjalanan penyakit tersebut. Sel-sel hati tersebut secara berangsur-angsur digantikan oleh jaringan parut. Akhirnya jumlah jaringan parut melebihi jumlah jaringan hati yang masih berfungsi. Pulau-pulau jaringan normal yang masih tersisa dan jaringan hati hasil regeneasi  dapat menonjol dari bagian-bagian yang berkonstruksi sehingga hati yang sirotik memperlihatkan gambaran mirip paku sol sepatu berkepala besar (hobnail appearance) yang khas. Sirosis hepatis biasanya memiliki awitan yang insidius dan perjalanan penyakit yang sangat panjang sehingga kadang-kadang melewati rentang waktu 30 tahun atau lebih (Brunner, 2002).
Varises esofagus merupakan pembuluh darah yang berdilatasi, berkelok-kelok dan biasanya  dijumpai pada sub mukosa bagian bawah, namun varises ini dapat terjadi pada bagian lebih tinggi atau meluas sampai ke lambung. Keadaaan semacam ini hampir selalu disebabkan oleh hipertensi portal yang terjadi obstruksi pada saluran vena porta, pada hati yang mengalami serosis.
Peningkatan obstrukisi pada vena porta menyebabkan darah vena dari traktus intestinal dan limpa akan mencari jalan keluar melalui kolateral (lintasan baru untuk kembali ke atrium kanan). Akibat yang ditimbulkan adalah peningkatan tekanan, khusunya adalah  pembuluh darah pada lapisan submukosa esofagus bagian bawah dan lambung bagian atas. Pembuluh-pembuluh kolateral ini tidak bersifat elastis tapi bersifat rapuh, berkelok-kelok dan mudah mengalami perdarahan. Penyebab varises lainya yang lebih jarang ditemukan adalah kelainan sirkulasi dalam vena linealis atau vena kava superior dan trombosis vena hepatika.
Varises esofagus yang mengalami perdarahan dapat menyebabkan kematian dan menyebabkan syok haemorargik yang menyebabkan penurunan perfusi serebral, hepatik serta ginjal. Selanjutnya akan terjadi peningkatan beban nitrogen akibat perdarahan kedalam traktus gastrointestinal dan kenaikan kadar amonia serum yang meningkatkan resiko encefalopati. Kemungkinan terjadinya perdarahan pada varises esofagus harus dicurigai jika ada hematemisis dan melena, khususnya pada klien yang biasa mengkonsumsi minuman keras. Vena yang mengalami dilatasi biasanya tidak mengalami gejala kecuali jika ada peningkatan tekanan porta yang tajam dan mukosa atau struktur yang menyangga menjadi tipis, sehingga kemungkinan akan timbul haemorargik masif.
Faktor-faktor yang menimbulkan perdarahan bisa jadi dari mengangkat barang berat, mengejan pada saat defekasi, bersin, batuk atau muntah, esofagitis, atau iritasi pembuluh darah akibat makan makanan yang tidak dikunyah dengan baik atau minum cairan yang merangsang. Salisilat dan setiap obat yang dapat menimbulkan erosi mukosa, serta mengganggu replikasi sel dapat pula menyebabkan perdarahan.(Brunner, 2000)
Asites dan edema pada sirosis hepatis terjadi mekanisme yang kompleks dan tidak semuanya diketahui. Dua macam hipotesis yang diajukan untuk menjelaskan terjadinya asites yaitu, konsep tradisional dan teori luber.
a.    Konsep tradisional yang dimotori hipotesis starling (1896) serta didukung oleh faktor lokal intra abdominal yang menyebabkan reditribusi cairan dan faktor sistemik yang mengakibatkan ginjal menahan natrium dan air.
1)       Faktor lokal intra abdominal. Akumulasi cairan ekstrasel (edema dan asites) menunjukkan adanya gangguan keseimbangan lokal antara pembentukan dan penyerapan. Perubahan keseimbangan ini dipengaruhi oleh starling (hipoalbuminemia dan hipertensi portal), gangguan aliran limfe dan kapasitas reabsorpsi cairan asites yang terbatas.
2)       Faktor sistemik akibat faktor-faktor di atas yang saling berkaitan menyebabkan terkumpulnya cairan intraperitoneal dan mengakibatkan volume plasma efektif serta ekstra sel berkurang, selanjutnya perfusi ginjal berkurang dan terjadilah retensi natrium sekunder akibat rangsangan renini angiostensin aldoseron serta mekanisme abnormal lainnya yang belum diketahui seluruhnya dengan jelas. Mekanisme yang belum jelas tesebut diantaranya, berkurangnya aliran darah dan terjadinya laju filtrasi glumerulus. Meningkatnya rearbsobsi natrium sepanjang tubulus terutama bagian proximal tubulus distal, mungkin karena berkurangnya hormon natriuretik dan meningkatnya aldosteron sebagai  akibat meningkatnya produksi dan berkurangnya inaktivitas aldosteron oleh hati dalam keadaaan sirosis.
Menurut www.iqhealth.com (2005), diketahui bahwa asites yang mempengaruhi pernapasan sehingga klien sulit bernafas adalah asites dengan large volume. Sementera menurut www.wikipedia.org.com (2005), diketahui bahwa terdapat 3 klasifikasi dari asites yaitu small volume (grade 1) adalah asites ringan yang hanya dapat dilihat dengan USG, (grade 2) masih tergolong ringan, dapat diketahui dari perut yang kembung dan terdapat shiffting dullness atau suara dullness pada pemeriksaan fisik, (grade 3) adalah large volume, dapat terlihat dengan jelas dan terdapat suara seperti air mengalir saat dimiringkan. 
b.    Edema adalah gejala lanjut lainnya dikarenakan protein plasma yang turun.
Teori luber yang diajukan oleh Lieberman dkk, mengatakan bahwa semakin lanjutnya sirosis, rearbsorpsi garam dan air di tubulus semakin meningkat yang selanjutnya menimbulkan pembesaran volume plasma. Asites kemudian terjadi akibat fenomena luber yang dapat dianggap sebagai usaha tubuh untuk mempertahankan keseimbangan antara ekspansi volume plasma dengan kapasitas tampung vaskuler, sinusoid hati dan sistem portal dimana pada tempat-tempat tersebut sehingga starling terganggu hingga memudahkan transudasi cairan ke rongga peritoneal.  (Wapandji, 1987).
Obstruki portal dan asites. Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang kronis dan sebagian lagi disebabkan oleh obstruksi sirkulais portal. Semua darah dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena porta dan akan dialirkan ke hati. Karena hati yang serotik tidak memungkinkan perlintasan darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke limpa dan traktus gastro intestinal dengan konsekuensi, organ-organ ini dapat menjadi tempat yang kongestif pasif yang bebas. Dengan kata lain organ tersebut akan dipecah oleh darah dan dengan demikian klien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita dis pepsi kronis dan konsistensi atau diare berat. badan klien secara berangsur-angsur akan menurun.
Varises gastrointestinal  obstruksi aliran darah lewat saluran yang terjadi akibat perubahan fibrotik juga menyebabkan pembentukan pembekuan darah kolateral dalam rongga gastrointestinal dan pemintasan darah pembuluh darah kedalam pembuluh darah dengan aliran yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sering memperlihatkan distensi pembuluh darah yang mencolok serta terlihat pada saat infeksi abdomen (kaput medusa) dan distensi pembuluh di traktus intesinal. Esofagus lambung dan bagian bawah merupakan bagian yang tersering mengalami pembentukan .
5.    Komplikasi
Komplikasi menurut Brunner (2000) ada dua yaitu :
a.    Perdarahan dan hemorargia
b.    Ensefalopati hepatik
Komplikasi menurut Mansjoer (2001) ada dua yaitu :
a.    Hematemisis melena
b.    Koma hepatikum
Komplikasi menurut Engram (2000) ada empat yaitu :
                 a.     Encefalo hepatik yang disebabkan oleh peningkatan kadar amonia darah.
                 b.     Asites ruang disebabkan oleh ekstravasase cairan serosa ke dalam rongga peritoneal yang disebabkan oleh peningkatan hipertensi portal, peningkatan reabsorpsi ginjal terhadap natrium dan penurunan albumin serum.
                 c.     Sindrom hepatorenal yang disebabkan oleh dehidrasi atau infeksi.
                 d.     Gangguan endokrin yang disebabkan oleh depresi sekresi gonadotropin
6.    Manifestasi klinis
Gejala terjadi akibat perubahan morfologi dan lebih menggambarkan beratnya kerusakan yang tejadi. Didapatkan gejala dan tanda sebagai berikut :
                 a.    Gejala-gejala gastrointestinal yang tidak khas seperti anoreksia, mual, muntah dan diare.
                 b.    Demam , berat badan turun dan lekas lelah
                 c.    Asites, hidrothoraks dan edema.
                 d.    Ikterus, kadang-kadang urine menjadi lebih tua warnanya atau kecoklatan.
                 e.    Hepatomegali, bila telah lanjut hati dapat mengecil karena fibrosis. Bila secara klinis didapati adanya demam, ikterus dan asites, dimana demam bukan karena sebab-sebab lain, dikatakan Sirois dalam keadaan aktif. Hati-hati akan timbulnya prekoma dan koma hepatikum.
                  f.    Kelainan pembuluh darah seperti kolateral-kolateral di dinding abdomen dan thoraks, kaput medusa, wasir dan varises esofagus.
                 g.    Kelainan endokrin yang merupakan tanda dari hiperestrogenisme yaitu :
1)      Impotensi, atrofi testis, ginekomastia, hilangnya rambut aksila dan pubis.
2)      Amenore, hiperpigmentasi aerola mame.
3)   Spider nevi dan eritema.
4)   Hiperpigmentasi
                h.    Jari tabuh
7.    Pemeriksaan penunjang dan pemeriksan diagnostik
Derajat penyakit hati dan bentuk pengobatanya ditentukan setelah mengkaji hasil-hasil pemerikasaan laboratoirum. Fungsi hati sangat kompleks, ada banyak pemerikasaan diagnostik untuk mengetahui fungsi hati. Klien harus mengetahui mengapa semua pemeriksaaan ini harus dilakukan, mengapa dipandang penting dan bagaimana cara bekerja sama dalam menjalaninya.
Pada disfungsi parenkim hati yang berat, kadar albumin serum cenderung menurun sementara kadar globulin meningkat. Pemeriksaan enzim menunjukkkan kerusakan sel hati, yaitu kadar alkali fosfatase, AST (SGOT) serta ALT (SGPT) meningkat dan kadar kolinesterase serum dapat menurun. Pemeriksaan bilirubin digunakan untuk mengukur ekskresi empedu atau retensi empedu. Laparaskopi yang dikerjakan bersama biopsi memungkinkan penderita untuk melihat hati secara langsung.
Pemeriksaan USG akan mengukur perbedaaan densitas antara sel-sel parenkim hati dan jaringan parut. Pemeriksaan CT (computed tomography), MRI dan radio isotop hati memberikan informasi tentang besar hati dan aliran darah hepatik serta obstruksi aliran tersebut. Analisa gas darah arterial dapat mengungkapkan gangguan keseimbangan ventilasi-perfusi dan hipoksia pada sirosis hepatis. (Brunner, 2001).
Adanya anemia gangguan faal hati ( penurunan kadar albumin serum, peninggian kadar bilirubin direk indirek, penurunan enzim, kolenetrase, serta peninggian SGOT & SGPT (Mansjoer, 2001).
Menurut www.wikipedia.org.com pemeriksaan cairan asites dilakukan untuk mengetahui adanya bakteri infeksi, untuk menentukan terapi yang tepat dan untuk mengetahui kandungan dari cairan asites tersebut.
8.    Penatalaksanaan
a.    Bed rest sampai ada perbaikan ikterik dan demam.
b.    Diet rendah protein diet hati III : Protein 1g/kg bb, 55g protein, 200 kalori), bila ada asites diberikan diet rendah garam II (600-800 mg) atau III (1000-2000 mg). Bila proses tidak aktif, diperlukan diet tinggi kalori (2000-3000) dan tinggi protein (80-125g/hari).
c.    Bila ada tanda-tanda prekoma atau koma hepatikum, jumlah protein dalam makanan dihentikan (diet hati I )untuk kemudian diberikan sedikit demi sedikit sesuai toleransi dan kebutuhan tubuh. Pemberian protein yang melebihi kemampuan klien atau meningginya hasil metabolisme protein dalam darah viseral dapat mengakibatkan timbulnya koma hepatikum. Diet yang baik dengan protein yang cukup perlu diperhatikan.
d.    Mengatasi infeksi dengan antibiotik, dengan pengunaan obat-obatan yang jelas tidak hepatotoksik.
e.    Memperbaiki keadaan gizi, bila perlu dengan memberikan asam aminoesensial berantai cabang dan glukosa.
f.     Pemberian robboransia. Vitamin B kompleks.
Menurut Waspandji (1987), penatalaksanaan asites dan edema adalah :
a.    Istirahat dan diet rendah garam, dengan istirahat dan rendah garam (200-500 mg per hari), kadang-kadang asites dan edema telah teratasi. Ada kalanya harus disertai dengan pembatasan cairan selama 24 jam, hanya sampai 1 liter atau kurang.
b.    Bila dengan diet dan istirahat tidak teratasi, diberikan pengobatan deuretik berupa Spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan dapat ditingkatkan sampai 300 mg per hari bila setelah 3-4 hari tidak ada perubahan.
c. Bila terjadi asites refrakter (asites yang tidak dapat diatasi dengan terapi medikamentosa yang intensif), dilakukan terapi parasentesis. Parasentesis merupakan cara pengobatan asites yang tergolong kuno dan sempat ditinggalkan dengan berbagai komplikasinya, namun sekarang banyak dicoba untuk digunakan kembali. Pada umumnya parasentesis aman digunakan bila disertai dengan infus albumin, sebanyak 6-8 gr untuk setiap liter cairan asites, atau dapat digunakan cairan dextran 70%.
Pengendalian cairan asites, diusahakan dengan penurunan 1 kg berat badan per 2 hari, atau keseimbangan cairan negatif 600-800 ml/hari. Hati-hati dalam pengeluaran cairan asites, bila cairan terlalu banyak dikeluarkan dalam satu waktu, dapat mencetuskan encefalopati hepatik. (Mansjoer 2001).
d.    Terapi konservatif
Terapi  untuk asites ringan , dicoba dulu dengan diet rendah garam. Apabila gagal maka penderita harus dirawat dan dicoba lagi pemberian diet rendah garam (20-5 mEq Na/hari). Asupan air dibatasi hanya apabila ada hiponatremi (Na plasma x 130 mEq/1).
e.    Deuretik
Lebih kurang 20% asites dapat diatasi dengan diet rendah garam saja selama 3 hari. Sisanya 80% diberikan deuretik untuk memblokir semua pertahanan natrium ginjal.
f.     Spironolakton
Spironolakton adalah suatu inhibitor kompetitif terhadap mineralokortikoid, maka tidak akan bekerja efektif bila kadar aldosteron tidak ada. Efek natriuretik dan retensi natrium dapat dititrasi terhadap kadar mineralokortikoid dalam sirkulasi.
Sekitar 60% penderita yang memerlukan spironolakton saja, sisanya sekitar 20% memerlukan deuretik yang lebih kuat. Diperkirakan 15% berhasil.
g.    Terapi lain
Sebagian kecil saja penderita Sirosis hepatis yang tidak berhasil dengan terapi konsrvasif. Terdapat penderita yang mengalami ganguan fungsi ginjal sesudah pemberian deuretik. Penderita ini umumnya telah ada dalam keadaan terminal, walaupun asites mungkin dapat dikurangi, tapi tidak akan mempengaruhi perjalanan penyakit yang terus memburuk..
Metode atau obat-obatan yang biasa digunakan pada sirosis hepatis adalah :
a.    Albumin
b.    Parasentesis
c.    Infus cairan asites
Cairan infus Dextrose 10% dan digabung bersama pemberian furosemid.
d.    Le Ve Shunt
Dengan alat ini cairan asites dialirkan langsung dari kompartement peritoneal masuk ke vena jugularis. Selain manfaat, terdapar berbagai macam komplikasi sehingga shunt terpaksa dicabut. Mortalitas operasi ± 20%.
e.    Portocaval shunt
Pernah dilaporkan dapat mengurangi asites, namun karena tingginya mortalitas, encepalopati dan gagal jantung maka sekarang jangan dilakukan.
f.     Penghambat beta
Bagi penderita yang mengalami gagal ginjal setelah pemberian spironolakton atau deuretik, apabila setelah 5 hari sesudah deuretik diberikan tetap dalam keadaan gagal ginjal, dapat dicoba dengan pemberian beta bloker untuk mencegah pelepasan renin ginjal. Aktivitas beta bloker nyata apabila terdapat penurunan nadi 15-20%. Propanolol dapat diberikan 160 mg perhari dengan memperhatikan kemungkinan intoksikasi, karena metabolisme obat dalam hati.
Umumnya beta bloker jarang sekali diperlukan, dengan menghentikan deuretik untuk sementara waktu dan kemudian diberikan lagi dalam takaran yang lebih rendah, hasilnya cukup memuaskan. (Waspandji, 1987).
Menurut Engram (1999), bila terdapat varises esofagus dan perdarahan,  dilakukan skleroterapi endoskopik, transfusi darah, infus IV dari vasopresin atau propanolol.

B.   Asuhan Keperawatan Klien Dengan Sirosis Hepatis
1.    Pengkajian menurut  (Doenges, dkk 2000)
a.    Identitas meliputi nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat dan tanggal masuk Rumah Sakit
b.    Data dasar pengkajian klien secara biopsikososiospiritual.
1)   Aktivitas atau istirahat, adanya kelemahan, kelelahan, letargi, penurunan masa otot atau tonus
2)      Sirkulasi
Riwayat perikarditis, penyakit jantung rematik, kanker (tidak berfungsinya hati menyebebkan gagal hati), disritmia, distensi pembuluh darah perut
3)      Eliminasi
Flatus, distensi abdomen, hepatomegali, splenomegali, asites, penurunan atau tidak adanya peristaltik usus, feses warna tanah liat, melena, urine gelap dan pekat
4)      Makanan atau cairan
Anoreksia, tidak toleran terhadap makanan, mual, muntah, penurunan BB, edema umum pada jaringan, nafas berbau, perdarahan gusi.
5)      Neurosensori
Perubahan kepribadian, penurunan mental, bingung, bicara lambat, tidak jelas atau koma
6)      Nyeri atau kenyamanan
Nyeri tekan abdomen atau nyeri dikuadran kanan atas, pruritis, neuronefritis perifer
7)      Pernapasan
Dispneaa, takipnea, pernapasan dangkal, bunyi nafas tambahan, ekspansi paru terbatas, hipoksia
8)      Keamanan
Pruritus, demam, ikterik, eritema palmaris, ptechie
9)      Seksualitas
Gangguan menstruasi, impotens, atrofi testis, ginekomastia, kehilangan rambut pada dada, bawah lengan dan pubis.
c.    Aspek psikologis
Konsep diri, keadaaan emosional, pola interaksi, mekanisme kopping.
d.    Aspek sosial
Hubungan yang berarti, budaya keluarga, lingkungan keluarga
e.    Aspek spiritual
Agama, keyakinan tentang sehat dan sakit, nilai kegiatan agama
f.     Tingkat pengetahuan klien tentang penyakit
g.    Pemeriksaan fisik
Pada klien dengan sirosis hepatis dapat dilakukan dengan pemeriksaaan, observasi adanya asites, ikterus pada kulit dan sklera, terdapat spider nevi terutama pada kulit dan punggung, bahu, leher, dada, dan ekstrimitas bawah serta adanya eritema palmaris. Selain itu dilakukan pada pengukuran berat badan, tinggi badan dan lingkar perut
h.    Pemeriksaan penunjang
Hasil pemeriksaan yang dilakukan pada klien dengan  sirosis hepatis diantaranya adalah urine akan ditemukan urobilirubinogen dan bilirubin. Sedangkan pada feses ditemukan adanya peningkatan sterkobilinogen. Pada pemeriksaan darah ditemukan adanya leukopenia, trombositopenia, dan waktu protrombim yang memanjang. Pemeriksaan lain melalui ultrasonografi, endoskopi, esofaguskopi, dan dilakukan biopsi hati.
2.    Diagnosa keperawatan 
a.    Menurut Doenges (2000) terdapat 8 diagnosa keperawatan yaitu :
1)    Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan  diet tidak adekuat, ketidakmampuan untuk memproses atau mencerna makanan , anoreksia, mual atau muntah.
2)    Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi, kelebihan natrium atau masukan cairan
3)    Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sirkulasi, adanya edema, asites.
4)    Resiko terhadap pola nafas tidak efektif berhubungan terhadap cairan intrabdominal, penurunan ekspansi paru.
5)   Resiko perdarahan berhubungan dengan hipertensi portal dan gangguan faktor pembekuan darah
6) Resiko perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan psikologis, peningkatan kadar amonium serum.
7)    Gangguan body immage berhubungan  dengan gangguan penampilan fisik.
8)   Kekurangan pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengolahan berhubngan dengan ketidakbiasaan terhadap sumber-sumber informasi atau kekurangan informasi
b.    Diagnosa keperawatan menurut NANDA (2005), yang terdapat pada Tn “HM” adalah resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif  dengan faktor resikonya adalah prosedur invasif, ketidakcukupan pengetahuan terhadap zat-zat patogen, trauma, kerusakan jaringan yang terpapar dengan lingkungan, ruptur membran amnion, obat-obatan imunosupresif, malnutrisi, peningkatan paparan patogen dari lingkungan, imunosupresif, ketidak adekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, trauma jaringan, stasisi cairan tubuh, perubahan pH cairan), ketidak adekuatan pertahanan sekunder tubuh (penurunan hemoglobin, albumin, leukopenia, penekanan terhadap proses peradangan).
c.    Diagnosa keperawatan menurut Hudak (1996) yang terdapat pada Tn “HM” adalah, resiko infeksi berhubungan dengan pelepasan sel-sel kuffer melawan infeksi.
d.    Diagnosa keperawatan untuk gangguan fungsi hati menurut Brunner (2002) yang terdapat pada Tn “HM” adalah, intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
3.    Perencanaan
a.    Menurut Doenges (2000) perencanaan keperawatannya yaitu :
1)    Perubahan nutrisi tidak adekuat berhubungan dengan  diet tidak adekuat, kemampuan untuk memproses dan mencerna makanan, anoreksia
Tujuan : Kebutuhan klien terpenuhi dengan kriteria klien menunjukkan kenaikan berat badan dan tidak ada tanda malnutrisi
Intervensi :
a)    Hitung diet makanan dengan  jumlah kalori
Rasional : Menyediakan informasi tentang kebutuhan dan kekurangan intake
b)    Bandingkan perubahan status cairan, riwayat berat sebelumnya dengan pengukuran kulit trisep
Rasional : Sulit untuk menggunakan indikator berat langsung maka, indikator status nutrisi dapat dilihat adanya edema dan asites, lipatan kulit trisep diukur untuk membantu perubahan tonus otot dan cadangan lemak subkutan
c)    Jelaskan klien tentang alasan tipe diet yang diberikan
Rasional : Makanan penting untuk mendukung kesembuhan dan mungkin berbeda dengan selera
d)    Berikan makanan porsi kecil dan sering
Rasional : Toleransi kurang untuk makanan yang banyak, mungkin tiba-tiba dapat meningkatkan tekanan abdominal atau asites
e)    Batasi intake kopi, produksi gas, berbumbu, trerlalu panas dan terlalu dingin
Rasional : Mengurangi iritasi lambung atau atau diare dan ketidaknyamanan perut yang mungin kelemahan pencernaan.
f)     Sediakan  subtansi garam jika diizinkan, menghindari amonium,.
Rasional : Subtansi garam menambah rasa makanan dan meningkatkan  nafsu makan. Amoniak memeberi resiko encefalopati
g)    Sediakan makanan lembut atau terlalu kasar jika diindikasikan
Rasional : Hemorargi dari varises esofagus dapat terjadi dalam kemajuan sirosis
h)   Sediakan perawatan mulut sebelum makan
Rasional : Klien cenderung cemas, gusi berdarah dan gigi busuk yang menambah anoreksia
i)     Monitor laboratorium seperti serum glukose, albumin, protein dan amoniak
Rasional : Mengetahui gangguan metabolisme
j)      Konsul dengan ahli gizi untuk menyediakan diet tinggi kalori, karbohidrat sederhana, rendah lemak, sedang sampai tinggi protein, pembatasan garam dan cairan
Rasional : Tinggi kalori karena klien kekurangan intake dan selalu terbatas. Lemak sedikit diabsorbsi karena disfungsi hati menyebabakan rasa tidak nyaman di perut. Protein untuk memperbaiki serum protein untuk mengurangi edema dan regenerasi sel hati 
k)    Laksanakan pengobatan sesuai indikasi seperti suplemen dan vitamin, tiamin, Fe, Zn dan anti emetik
Rasional : Klien selalu kekurangan vitamin karena diet sedikit dan kerusakan hati sehingga menyebabkan anemia. Zn dapat meningkatkan stimulasi sklera. Anti emetik digunakan dengan hati-hati untuk mengurangi dan meningkatkan intake oral
l)     Anjurkan menghentikan merokok
Rasional : Menurunkan rangsangan gaster berlebihan dan resiko iritasi dan perdarahan.
2)    Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi, kelebihan natrium dan berkurangnya protein plasma
Tujuan : Keseimbangan volume cairan terpenuhi dengan kriteria  turgor kulit baik, elektrolit dalam batas normal
Intervensi :
a)    Ukur input dan output, menimbang setiap hari dan mencatat  peningkatan lebih dari 0,5 kg /hari
Rasional : Mengetahui keadaan volume cairan
b)    Monitor tekanan darah
Rasional : Tekanan darah yang meninggi selalu berhubungan dengan berlebihnya volume.
c)    Menilai suhu perifer atau edema
Rasional : Perubahan cairan jaringan, hasil dari sodium dan retensi, penurunan albumin dan peningkatan ADH.
d)    Ukur lingkar perut
Rasional : Menggambarkan akumulasi cairan atau  karena kehilangan protein plasma
e)    Monitor serum albumin dan elektrolit (potasium partikel dan sodium)
Rasional : Penurunan serum albumin, mempengaruhi tekanan plasma koloid osmotik menyebabkan edema
f) Batasi cairan dan sodium sesuai indikasi
Rasional : Sodium dibatasi untuk mengurangi retensi cairan dalam ekstra vaskuler. Pembatasan penting untuk koreksi cairan natremi
g)    Atur garam albumin bebas atau perluasan sesuai indikasi
Rasional : Albumin digunakan untuk meningkatkan tekanan osmotik koloid dalam vaskuler (pengambilan cairan dari ruang vaskuler), menurunkan bentuk asites
h)    Atur pengobatan seperti spirolakton, potasium, obat inotropik
Rasional : Penggunaan spironolakton yang hati-hati untuk mengontrol edema dan asites, berefek menghalangi aldosteron dan meningkatkan ekskersi air. Potasium biasa habis karena penyakit hati hilang bersama urin. Obat inotropik meningkatkan kardiak output memperbaiki fungsi dan aliran darah ginjal, teerapi mengurangi kelebihan cairan.
3)    Resiko tinggi terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan faktor pembekuan, hipertensii portal
Tujuan : Menurunkan resiko perdarahan dan mempertahankan homeostasis dengan tanpa perdarahan
Intervensi
a)    Observasi warna, konsistensi dan banyaknya tinja
Rasional : Mendeteksi adanya perdarahan saluran perdarahan
b)    Observasi gejala cemas, lambung penuh dan kelemahan
Rasional : Mungkin mengindikasikan tanda yang lambat dari perdarahan dan syok
c)    Observasi perdarahan seperti ekimosis, epitaksis, ptekie dan perdarahan gigi
Rasional : Untuk mengindikasikan mekanisme pembekuan darah
d)    Laporakan tanda-tanda vital dengan dengan interval tertentu
Rasional  : Sebagai dasar menjelaskan hipovolemi dan syok
e)    Jaga ketenangan dan batasi aktivitas
Rasional : Meminimalkan resiko perdarahan dan ketegangan
f) Beri Vitamin K sesuai order
Rasional : Meningkatkan pembekuan yang berasal dari Vitamin dalam lemak yang penting untuk mekanisme pembekuan
g)    Beri intake makanan tinggi Vitamin C
Rasional : Meningkatkan proses penyembuhan
h)    Gunakan sikat gigi lunak atau lembut
Rasional : Mencegah trauma mukosa mulut sampai terjadi pererbaikan oral higiene
i) Gunakan ukuran jarum suntik kecil untuk injeksi
Rasional : Meminimalkan kehilangan darah dari pengulangan  injeksi
4)    Gangguan body image gambaran diri berhubungan dengan  gangguan fisik, perubahan fungsi peran
Tujuan : Body image klien meningkat dengan kriteria secara verbal mengerti perubahan diri dan menerimanya
Intervensi :
a)    Diskusikan keadaanya dan jelaskan penyakit serta gejalanya
Rasional : Klien sensitif terhadap perubahan tubuhnya dan merasa bersalah jika penyebabnya berhubungan dengan alkohol, dengan penjelasan itu ia akan paham dan mengerti
b)    Beri support dan perawatan dengan sikap bersahabat
Rasional : Membantu klien merasa bernilai seperti orang dan lebih bersahabat
c)    Libatkan keluarga dalam perawatan
Rasional : Membantu merasa berguna dan meningkatkan kepercayaan
d)    Libatkan konselor atau psikistri
Rasional : Membantu memecahkan klien
5)    Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan turgor kulit buruk, penonjolan tulang, adanya edema dan asites, akumulasi garam empedu pada kulit, gangguan sirkulasi atau status metabolik
Tujuan : Klien dapat mempertahankan integritas kulit, mengidentifikasi faktor resiko dan menunjukkan faktor perilaku atau teknik untuk mencegah kerusakan kulit
Intervensi :
a)    Lihat permukaan kulit atau tekanan secara rutin.
Rasional : Edema jaringan lebih cenderung untuk mengalami dekubitus asites dapat juga meregangkan kulit sampai pada titik robekan pada Sirosis hepatis
b)    Tinggikan ekstrimitas bawah
Rasional : Menurunkan aliran darah balik vena dan menurunkan edema pada ekstrimitas
c)    Pertahankan sprei kering dan bebas lipatan
Rasional : Kelembaban meningkatkan pruritus dan meningkatkan  resiko kerusakan kulit
d)    Gunting kuku jari pendek, berikan sarung tangan bila
       diinsikasikan
Rasional : Mencegah klien dari cedera tambahan pada kulit khususnya pada saat tidur
e)    Gunakan kasur bertekanan tertentu, kasur karton telur, kasur air, kulit domba sesuai indikasi
Rasional : Menurunkan tekanan kulit, memperlancar sirkulasi dan menurunkan resiko iskemi atau kerusakan jaringan
f) Berikan lotion kelamin, berikan mandi soda kue
Rasional : Mungkin menghentikan gatal sehubungan dengan ikterik, garam empedu pada kulit
6)    Resiko tinggi terhadap pola pernapasan tidak efektif  berhubungan dengan asites, penurunan akumulasi paru, akumulasi sekret serta penurunan energi dan kelemahan
Tujuan : Mempertahankan pola pernapasan efektif, bebas  dispnea dan sianosis, dengan nilai GDA dan kapasitas dalam rentang normal.
Intervensi :
a)    Awasi kedalaman, frekuensi dan upaya pernapasan
Rasional : Pernapasan dangkal, dispnea, mungkin ada hubungan dengan hipoksia dan akumulasi cairan dalam abdomen
b)    Selidiki perubahan tingkat kesadaran
Rasional : Perubahan kesadaran merupakan indikasi hipoksemia dan gagal nafas, yang sering disertai koma hepatik
c)    Pertahankan kepala tempat tidur tinggi
Rasional : Memudahkan pernapasan dengan meminimalkan tekanan pada diagfragma dan meminimalkan ukuran aspirasi sekret
d)    Awasi suhu, catat adanya menggigil, meningkatnya warna atau perubahan sputum
Rasional : Menunjukkan timbulnya infeksi contohnya pneumonia
e)    Kolaborasi pemeriksaan GDA, ukur kapasitas vital dan foto dada
Rasional : Menyatakan perubahan status pernafasan
f) Berikan tambahan O2 sesuai indikasi
Rasional : Mencegah hipoksia, ventilasi mekanik sesuai kebutuhan
g)    Siapkan prosedur parasintesis
Rasional : Kadang-kadang dilakukan dengan membuang cairan asites bila pernapasan tidak adekuat
h)    Siapkan untuk pirau peritoneovena
Rasional : Bedah penanaman kateter untuk mengembalikan, akumulasi dalam abdomen  ke sistem sirkulasi melalui vena kava
7)    Resiko tinggi terhadap perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis, peningkatan kadar amonia serum, ketidakmampuan hati untuk mendetoksikasi enzim atau obat tertentu.
Tujuan : Mempertahankan tingkat mental atau orientasi kenyataan
Intervensi :
a)    Observasi perubahan perilaku mental contoh letargi, snomnolen
Rasional : Pengkajian kesadaran penting karena fluktuasi alami dari koma hepatikum
b)    Catat adanya foetur hepatikum dan aktivitas kejang
Rasional : Menunjukkan kadar amonia serum, peningkatan beresiko encefalopati
c)    Konsul pada orang terdekat tentang perilaku klien dan mental klien
Rasional : Memberikan dasar perbandingan status kesadaran klien saat ini
d)    Orientasikan klien waktu, orang dan tempat sesuai kebutuhan
Rasional : Membantu dalam mempertahankan terhadap orientasi kenyataan, menurunkan bingung dan ansietas
e)    Pertahankan aktivitas tirah baring dan bantu aktivitas perawatan klien
Rasional : Menurunkan kebutuhan metabolik hati, mencegah kelelahan dan meningkatkan penyembuhan
f)     Awasi pemeriksaan laboratorium contoh amonia, pH, BUN, glukosa, darah lengkap dengan diferensial
Rasional : Peningkatan kadar amonia, hipokalemi, alkalosis metabolik, hipoglikemi, anemia dan infeksi dapat mencetuskan atau berpotensi menjadi koma hepatik
g)    Bebaskan atau batasi diet protein
Rasional : Protein nabati lebih bisa ditoleransi dari protein hewani
8)    Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar), tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
Tujuan : Menyatakan pemahaman proses penyakit, menghubungkan gejala dan faktor penyebab, melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam perawatan
Intervensi :
a)    Kaji ulang proses penyakit atau prognosis dan harapan yang akan datang
Rasional : Memberikan dasar pengetahuan kepada klien dan dapat membuat pilihan informasi
b)    Tekankan pentingnya menghindari alkohol
Rasional : Alkohol menyebabkan terjadinya Sirosis hepatis
c)    Informasikan kepada klien tentang efek gangguan penggunaan obat pada Sirosis hepatis dan pentingnya penggunaan obat hanya yang diresepkan
Rasional : Beberapa obat bersifat hepatotoksik
d)    Tekankan pentingnya masukan nutrisi yang baik
Rasional : Pemeliharaan diet yang tepat dan menghindari makanan tinggi amonia, membantu perbaikan gejala dan membantu mencegah kerusakan hati
e)    Tekankan perlunya mengevaluasi kesehatan dan mentaati program terapeutik
Rasional : Sifat penyakit kronis mempunyai potensial untuk komplikasi mengancam hidup
f)     Tingkatkan aktivitas hiburan yang dapat dinikmati klien
Rasional : Mencegah kebosanan dan meminimalkan ansietas depresi
b.    Menurut Brunner (2002), intervensi keperawatan intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik adalah :
1)    Kaji tingkat aktifitas dan derajat kelelahan, letargi dan malaise.
Rasonal : Menyediakan dasaar bagi pengkajian dan kriteria selanjutnya untuk mengkaji efektifitas tindakan
2)    Bantu dalam aktifitas dan kebersihan diri bila klien masih meras lelah
Rasional : Meningkatkan sebagian latihan kebersihan diri dalam tingkat toleransi klien.
3)    Anjurkan istirahat bila klien merasa lelah atau bila terdapat keluhan nyeri atau rasa tidak enak pada perut
Rasional : Menyimpan tenaga dan melindungi hati
4)    Bantu memilih latihan dan aktifitas yang diinginkan
Rasional : Merangsang minat klien dalam menyeleksi aktifitas. Memperbaiki perasaan sehat secara umum dan percaya diri.
c.    Menurut (hudak, 1996) perencanaan intervensi untuk diagnosa resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif dan hipoalbuminemia adalah :
1)    Pertahankan teknik aseptik untuk ketika melakukan prosedur
Rasional : Meminimalkan resiko infeksi
2)    Pertahankan sterilitas jalur invasif dan selang
Rasional : Memotong agen penyebab infeksi
3)    Amati lokasi inveksi terhadap tanda-tanda infeksi
Rasional : Mengidentifikasi untuk menentukan intervensi selanjutnya
4)    Ganti lajur invasif setiap 72 jam
Rasional : Memberikan kesempatan pada lokasi invasif untuk melakukan pemulihan.
5)    Pantau suhu tubuh dan hasil sinar x dada
Rasional : Indikasi terjadinya infeksi sekunder pada paru serta efusi pleura.
6)    Periksa kultur semua drainase dan selang
Rasional : Menentukan jenis bakteri dan terapi yang tepat
7)    Berikan antibiotik sesuai pesanan
Rasional : Membunuh mikroorganisme dengan obat yang sesuai.
4.    Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah inisiatif dari perencanaan untuk mencapai tujuan yang spesifik (Nursalam, 2001). Didalam pelaksanaan harus menyesuaikan dengan kondisi dan kemampuan klien serta rumah sakit tempat perawat bekerja.
5.      Evaluasi
a.    Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan diet tidak adekuat, kemampuan untuk memproses dan mencerna makanan, anoreksia
Evaluasi : Diharapkan klien akan menunjukkan peningkatan berat badan progresif, nilai laboratorium normal dan tidak mengalami malnutrisi lebih lanjut.
b.    Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi, kelebihan natrium dan berkurangnya protein plasma
Evaluasi : diharapkan klien akan menunjukkan volume cairan stabil, dengan keseimbangan pemasukan dan pengeluaran, berata badan stabil, tanda vital dalam rentang normal dan tak ada edema.
c.    Resiko tinggi terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan faktor pembekuan, hipertensii portal
Evaluasi : diharapkan klien akan mempertahankan homeostasis dengan tanpa perdarahan dan menunjukkan penurunan perilaku resiko perdarahan.
d.    Gangguan body image gambaran diri berhubungan dengan  gangguan fisik, perubahan fungsi peran
Evaluasi : diharapkan klien akan menyatakan pemahaman akan perubahan dan penerimaan diri pada situasi yang ada.
e.    Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan turgor kulit buruk, penonjolan tulang, adanya edema dan asites, akumulasi garam empedu pada kulit, gangguan sirkulasi atau status metabolik
Evaluasi : Diharapkan klien dapat mempertahankan integritas kulit, mengidentifikasi faktor resiko dan menunjukkan perilaku atau teknik untuk mencegah kerusakan kulit.
f.     Resiko tinggi terhadap pola pernapasan tidak efektif  berhubungan dengan asites, penurunan akumulasi paru, akumulasi sekret serta penurunan energi dan kelemahan
Evaluasi : Diharapkan klien mampu mempertahakan pola pernapasan efektif, bebas dispnea dan sianosis, dengan nilai GDA dan kapasitas vital dalam batas normal.
g.    Resiko tinggi terhadap perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis, peningkatan kadar amonia serum, ketidakmampuan hati untuk mendetoksikasi enzim atau obat tertentu.
Evaluasi : Diharapkan klien mampu mempertahankan tingkat mental atau orientasi kenyataan, menunjukkan perilaku atau perubahan pola hidup untuk mencegah atau meminimalkan perubahan mental.
h.    Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar), tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
Evaluasi : Diharapkan klien dapat menyatakan pemahaman tentang proses penyakit atau prognosis, menghubungkan gejala dengan faktor penyebab, melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam perawatan.
i.      Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik
Evaluasi : Diharapkan klien dapat beraktifitas sesuai dengan toleransinya baik dengan atau tanpa bantuan sama sekali
j.      Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif dan hipoalbumin
Evaluasi : Diharapkan klien tidak mengalami infeksi selama terdapat terapi invasif dan hipoalbumin

C.   Dokumentasi keperawatan
Setelah dilaksanakan kegiatan-kegiatan dalam  asuhan keperawatan mulai dari pengkajian, perumusan diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, perawat harus segera melakukan dokumentasi hasil pelaksanaan proses keperawatan. Karena itu adalah sebagai bukti dari pekerjaan keperawatan yang digunakan untuk mengungkapkan fakta yang akan dipertanggungjawabkan.
Dokumentasi diartikan sebagai pekerjaan mencatat atau merekam jalannya peristiwa yang dianggap berharga atau penting, otentik serta rahasia dan sewaktu-waktu dapat digunakan sebagai dasar hukum. Manfaat dokumentasi adalah sebagai alat komunikasi antar anggota keperawatan dan antar anggota tim kesehatan lainnya, sebagai dokumen resmi dalam sistem pelayanan kesehatan dan dapat juga sebagai alat yang digunakan dalam bidang pendidikan serta sebagai alat pertanggungjawaban asuhan keperawatan yang telah berikan. (Nasrul Effendi, 1995).
Prinsip-prinsip pendokumentasian menurut Nasrul Effendi adalah :
1.    Tersedia format yang khusus bagi pendokumentasian
2.    Dokumentasi hanya dibuat oleh orang yang melakukan tindakan atau mengobservasi secara langsung.
3.    Dokumentasi harus dibuat sesegera mungkin.
4.    Catatan harus dibuat sesuai dengan kronlogis dengan perkembangan klien.
5.    Penulisan singkatan harus dilakukan secara umum dan seragam.
6.    Mencantumkan tanggal, waktu, tanda tangan dan inisial perawat yang menulis dokumentasi perawatan klien tersebut.
7.    Dokumentasi harus benar akurat, benar, komplit, jelas, dapat dibaca dan ditulis dengan tinta hitam atau biru.
Tujuan pendokumentasian menurut Nasrul Effendi (1995) adalah  sebagai berikut :
1.    Dokumentasi sebagai wahana komunikasi bagi perawat dan tim kesehatan lain
2.    Menunjukkan akuntabilitas
3.    Penelitian & Statistik
4.    Jaminan kualitas pelayanan kesehatan
5.    Memberikan pelayanan keperawatan yang berkelanjutan

DAFTAR PUSTAKA


________, 2001, http://www.atoziqhealth.com. Diakses tanggal 06 Agustus 2005  

Almatsir, S, 2004, Penuntun Diet, edisi baru, Instalasi diet RS Dr. cipto Mangunkusumo, Jakarta

Doenges, M .E, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta

Engram, B, 1999, Rencana asuhan Keperawatan, volume 3, EGC, Jakarta
Friedmen, M, 1998, Keperawatan Keluarga, edisi 1, EGC, Jakarta

Gallo, H, 1996, Keperawatan Kritis, volume 2, EGC, Jakarta
Long.C.B, 1996, Perawatan medical Bedah, jilid 3, Yayasan Ikatan alumni Pendidikan keperawatan, Jakarta

Mansjoer,A, 2001, Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3, Media Aesculapius, Jakarta

NANDA, 2005, Nursing diagnosis, Philadelphia the assocation, Philadelphia

Nursalam, BSN. 2001. Proses dan Pendokumentasian, edisi 1, Jakarta

Priharjo, R, 1993, Pengkajian Fisik Keperawatan, EGC, Jakarta

Suddart, B, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8, EGC, Jakarta
Waspandji, S, 1987, Ilmu Penyakit Dalam, Balai penerbit , edisi 2, FKUI, Jakarta

Wiki, M, 2005, http://www.wikipedia.com. Diakses tanggal 06 Agustus 2005.


Facebook Twitter RSS